Al-Quran dan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Diposting pada
Materi  Ushul Fiqih
A.  Pendahuluan
Islam
adalah agama yang sempurna yang  sudah
tentu mengandung aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh
seluruh umatnya. Dalam menentukan hukum atas manusia, Islam mengambil hukum
tersebut dari yang menciptakan manusia bukan manusia itu sendiri. Ini jauh
berbeda dengan hukum yang dibuat sendiri oleh manusia yang sudah tentu tidak
terlepas dari berbagai kekurangan.
Setiap
aturan dan hukum dalam Islam memiliki sumber sendiri sebagai pedoman dalam
pelaksanaannya. Hukum Islam termaktub lengkap dalam al-Quran dan as-Sunnah yang
kemudian disebut sebagai sumber hukum Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga
terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam.



B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana
pengertian dan dalalah ayat al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam?
2.      Bagaimana
pembagian, kualifikasi dan dalalah, as-Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
C.  Pembahasan
1.    Al-Quran


  Pengertian Al-Qur’an
Kata al-Qur’an dari
bahasa Arab merupakan masdar dari kata (قرأ) yang secara etimologis adalah bacaan. Al-Qur’an
adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam, jika
dibaca menjadi ibadah kepada Allah.
Dengan keterangan
tersebut di atas, maka firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa as dan Isa
as serta nabi-nabi yang lain tidak dinamakan al-Qur’an. Demikian juga firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang jika dibacanya bukan
sebagai ibadah seperti hadits Qudsi tidak pula dinamakan al-Qur’an.
Dari segi terminology,
al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan
perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis
dalam mushaf.[1]
Para ulama ushul fiqih
antara lain mengemukakan bahwa:
a. 
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. apabila bukan kalam
Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak dinamakan
al-Qur’an, melainkan Zabur, Taurat, dan Injl. Ketiga kitab yang diturunkan
terkhir ini adalah kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW. bukti bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang
terkandung al-Qur’an itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah
yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap al-Qur’an.
b. 
Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an,
seperti dalam surat asy-Syua,ra: 192-195, yusuf: 2, al-Zumar: 28, an-Nahl:103,
dan Ibrahim: 4. Oleh sebab itu penafsiran dan penerjemahan al-Qur’an tidak
dinamakan al-Qur’an, tidak bernilai ibadah bila membacanya seperti nilai
membaca al-Qur’an dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau
terjemahan al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna
yang dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa
Parsi, tapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum), Karena
ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan menghafal dan membaca ayat-ayat
al-Qur’an, terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.[2]


 Dalalah Ayat al-Qur’an
Adapun al-Qur’an itu
ditinjau dari dalalah atau hukum yang dikandungnya dibagi dua:
a.       Nash
yang qoth’I dalalahnya atas hukumnya
Yaitu
nashnya menunjukkan kepada makna yang mudah dipahami secara tertentu, tidak ada
kemungkinan menerima ta’wil, tidak ada pengertian selain daripada apa yang
telah dicantumkam. Misalnya firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 2: 
ARTINYA :

“Perempuan
yang berzina dan laki-lakij yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera.”
Jelas
deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini Qoth’I.
demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab,
semuanya sudah dipastikan, sudah dibatasi.[3]
b.      Nash
yang dzanni dalalahnya
Yaitu yang menunjuk atas yang
mungkin dita’wilkan , atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang
lain, seperti firman Allah:
 

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’
(Al-Baqarah: 228)
Quru’
tersebut didalam bahasa Arab mempunyai arti, yaitu suci dan haid (menstruasi)
karena itu ada kemungkinan, yang dimaksut disini tiga kali suci tetapi juga
mungkin tiga kali menstruasi..jadi disini tidak pasti dalalahnya tidak pasti
atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para mujtahidin
berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali sici, ada
pula yang berpendirian tiga kali haid. Demikian abd. Wahhab Khallaf.[4]
Al-Qur’an sebagai sumber hukum fiqh
Atas dasar
bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah Allah SWT
al-Qur’an itu sumber pertama bagi hukum islam, sekaligus juga dalil utama fiqh.
Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum
yang terkandung dalam sebagian ayatnya.
            Karena kedudukan al-Qur’an itu
sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang
ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus
dilakukan ialah mencari jawaban dan penyelesaiannya dalam al-Qur’an.
            Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai
sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-Qur’an yang menyuruh umat
manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-Qur’an.
Perintah Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankannya dalam
al-Qur’an.[5]
2.    As-Sunnah
  Pengertian Sunnah
Kata “Sunnah(سنّة)  berasal dari kata سنّ
 . secara etimologi berarti: cara yang biasa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata
sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi
من
سنّ سنّة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ومن سنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من
عمل بها إلى يوم القيامة
“Siapa
yang membuat
Sunnah yang baik maka baginya pahala
serta pahala oaring yang mengerjakanya dan siapa yang membuat
Sunnah yang
buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari
kiamat”
Dalam al-Quran terdapat  kata “sunnah” dalam 16 tempat yang
tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan
yang diikuti’. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali imran (3): 137:[6]
Sesungguhnya
telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. karena itu berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).”
Kemudian dalam surat al-isra’
(17): 77
sp¨Zߙ `tB ô‰s% $uZù=y™ö‘r& šn=ö6s% `ÏB $oYÎ=ߙ•‘ ( Ÿwur ߉ÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xƒÈqøtrB ÇÐÐÈ    
“(kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul      Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak
akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.”
Sunnah dalam istilah
ulama ushul adalah “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik
dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan
sunnah dalam istilah ulama fiqih adalah “sifat hokum bagi suatu perbuatan yang
dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian
diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa  orang yang tidak melakukannya.[7]


 Macam-macam 
Sunnah
a.     Sunnah
Qauliyah
 Sunnah qauliyah adalah ucapan
lisan dari Nabi Muhammad SAW yang di dengar dan dinukilkan oleh sahabatnya,
namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-Quran. Akan tetapi al-Quran juga
lahir dari lisan nabi yang juga didengar oleh sahabat dan disiarkannya kepada
orang lain sehingga kemudian diketahui orang banyak.
Dengan
demikian, menurut lahirnya al-Quran dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul
dari lisan Nabi. Namun sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat
memisah-misahkan mana yang wahyu dan mana yang ucapan biasa dari nabi.
Perbedaan tersebut da[at dilihat dengan beberapa cara, antara lain:
1.      Bila
yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu al-Quran selalu mendapatkat
perhatian yang khusus dari nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan
menuliskannya serta mengurutkannya sesuai dengan petunjuk Allah.
2.      Penukilan
al-Quran selalu dalam bentuk mutawarir atau oleh orang banyak, baik
dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
3.      Penukilan
al-Quran selalu dalam bentuk penukilan lafadz dengan arti sesuai dengan teks
aslinya yang didengar dari nabi.
4.      Apa
yang di ucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Quran mempunyaidaya pesona atau
mu’jizat bagipendengarnya. [8]


b.     
Sunnah
Fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah  semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang
dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan
oleh orang yang mengetahuinya. Para ulama memilah perbuatan Nabi itu menjadi
tiga bentuk:
1.      Perbuatan
dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau
berupa adat kebiasaan yang berlaku di tempat beliau, seperti cara makan, minum,
berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan lain sebagainya yang
merupakan tabiat dari seorang manusia.
2.      Perbuatan
Nabi yang memiliki petunjuk yang mebjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus berlaku
untuk Nabi dan orang lain tidak boleh berbuat seperti yang dilakukan Nabi.
3.      Perbuatan
dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti:
shalat, puasa, cara Nabi melakukan jual beli, utang piutang dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan agama.[9]


c.      
Sunnah
Taqririyah
Sunnah
Taqririyah adalah penetapan Nabi atas ucapan dan perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabat, dengan diam atau tidak ada penolakan, persetujuan,
atau anggapan baik dari beliau. Sehingga penetapan dan persetujuan itu dianggap
sebagai perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Seperti riwayat: Dua orang
sahabat pergi melakukan perjalanan. Ketika tiba waktu shalat, mereka tidak
mendapatkan air, maka mereka  bertayamum
kemudian mengerjakan shalat. Sesaat kemudian merek mendapatkan air, maka salah
seorang diantara mereka mengulang shalat, sedang yang lain tidak. Ketika mereka
menceritakannya kepada Nabi, beliau membenarkan apa yang telah diperbuat oleh
keduanya. Belau bersabda kepada  yang
tidak mengulang shalatnya, ”Engkau telah malaksanakan sunnah shalatmu sudah
cukup,” dan bersabda kepada  yang
mengulang, “Engkau mendapat pahala dua kali.”[10]


Ø  Kekuatammya Sebagai Hujjah
Sunnah berfungsi
sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran. Dalam
kesusukannay sebagai penjelas, sunnah kadang-kadangmemperluas hokum dalam
al-Quran atau menetapkan hukum sendiri diluar apa yang di tentukan Allah dalam
al-Quran.[11]
Bukti atas kekuatan
sunnah  sebagai hujjah antara lain:
Pertama, nash-nash
al-Quran. Karena Allah SWT sering kali dalam al-Quran memerinyahkan taat kepada
Rasul-Nya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepadanya.
Seperti dalam firman Allah SWT:[12]
$pkš‰r¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqߙ§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4
y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrùs? ÇÎÒÈ   
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(
QS: an-Nisa’: 59)
Kedua, kesepakatan para sahabat baik semasa hidup maupun sepeninggal Rasullullah
akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup Nabi, para sahabat telah
malaksanakan hukum, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nabi. Dalam
melaksanakan kewajiban mengikuti, mereka tidak memnedakan antara hukum yang
berasal dari wahyu Allah berupa al-Quran atau hukum yang keluar dari Nabi
sendiri.
Ketiga, Allah dalam al-Quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih
bersifat global, hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci. Seperti
firman Allah: [13]
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢•9$#
“dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat!”
(QS. An-Nisaa’: 77)


Ø  Dilalah Sunnah
Menurut pembagian para
ulama Hanafiah, hadits ditinjau dari segi periwayatannya dibagi menjadi Hadits
Mutawattir, Hadits Masyhur, dan Hadits Ahad.
Menurut jumhur, Hadits
dibagi menjad dua, yaitu Hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits masyhur
menurut ulama Hanafiyah termasuk ke dalam bagian hadits ahad dalam pembagian
hadits ahad dalam pembagian menurut jumhur.


1.      Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
dari Nabi SAW. Pada masa sahabat, tabiin, tabiit tabiin, oleh orang banyak yang
menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakati untuk berbuat dusta,
lantaran banyaknya jumlah mereka. Contohnya dari sunah amaliyah,seperti
melakukan sholat, puasa,haji,dll. Dari sunah qauliyah seperti hadits:[14]
من
كذّب علىّ متعمّدا فليتبوّأْ مقعده من النار
“Barang siapa berdusta
kepada-Ku dengan sengaja, maka silahkan menempati tempatnya di neraka.”
Hadits Mutawatir wajib diamalkan karena diriwayatkan
dengan cara yang mutawatir, yang menetapkan kebenaran asalnya dari Rasulullah
SAW.


2.      Hadits Masyhur
Hadits masyhur mustafidz, adalah hadits yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari para sahabat atau sekelompok orang banyak yang
tidak sampai pada batas mutawatir, kemudian diriwayatkan pada masa tabiin dan
masa tabiit tabiin oleh sejumlah orang yang sampai pada batas mutawatir.
Contohnya adalah seperti hadits yang diriwayatkan
oleh umar bin khathab dari Rasulullah SAW:
انّما الاعمال بالنّيات
sesungguhnya segala amal itu (pahalanya)bergantung kepada
niatnya.”
Perbedaan
antara hadits mutawatir dengan hadits masyhur yaitu bahwa hadits mutawatir
diriwayatkan dengan cara mutawatir pada tiga masa, sedangkan hadits masyhur
tidak diriwayatkan secara mutawatir, kecuali pada masa tabiin dan tabiit
tabiin. [15]


3.      Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan
mutawatir. Artinya satu, dua, atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasul
yang kemudian diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian
seterusnyabsehingga sampau kepada kita dengan sanad seperti itu. Yakni
pada setiap tingkatannya adalah perorangan, tidak sampai pada hiungan
mutawatir. Yang termasuk sunnah ahad ini adalah sebagian hadis yang dikumpulkan
dalam kitab-kitab hadis, dan hadis tersebut di beri nama Khabar al Wahid.[16]
Kedudukan Sunnah
sebagai Sumber
Hukum
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai
penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-Qur’an atau menetapkan
sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau
dalil kedua sesudah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta
mengikat untuk semua umat islam. Jumhur ulama’ mengemukakan alasan-alasannya
dengan beberapa dalil di antaranya:
1.Banyak ayat
al-Qur’an yang menyuruh umat untuk mentaati Rosul. Ketaatan kepada Rosul sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah; seperti dalam surat al-Nisa’ (4):59:
Yang dimaksud
dengan mentaati Rosul dalam ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dikatakan atau dilakukan oleh Rosul sebagaimana tercakup dalam sunnahnya.
2.ayat-ayat
al-Qur’an sering menyuruh umat beriman kepada Rosul dan menetapkan beriman
kepada Rosul bersama dengan kewajiban beriman kepada Allah, sebagaimana dalam
surat al-A’rof(7):158.
3.ayat-ayat
al-Qur’an menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya adalah
berdasarkan wahyu, karena beliau tidak berkata menurut kehendaknya
sendiri;tetapi semua itu adalah berdasarkan wahyu yang ditunjukkan Allah
sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53): 3-4.[17]
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk
Islam, jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah. Para ulama ushul fiqih antara
lain mengemukakan bahwa:
1.Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. bukti bahwa
al-Qur’an adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang terkandung al-Qur’an itu
sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, dan
ramalan-ramalan masa depan yang diungkap al-Qur’an.
2.Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab
Quraisy. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna yang
dikandungnya.
Sunnah dalam istilah
ulama ushul adalah “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik
dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sunnah ada 3
macam, yaitu:
Sunnah
qauliyah adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang di dengar dan
dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-Quran.
Sunnah
fi’liyah adalah  semua
perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi
kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya.Sunnah
Taqririyah adalah penetapan Nabi atas ucapan dan perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabat, dengan diam atau tidak ada penolakan, persetujuan,
atau anggapan baik dari beliau.
Sunnah berfungsi
sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran. Dalam
kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam
al-Quran atau menetapkan hukum sendiri diluar apa yang di tentukan Allah dalam
al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam
Lengkap.
PT. Karya Toha Putra. 1978.
Uman, Chaerul. Ushul
Fiqih 1.
CV. Pustaka Setia. 2000.
Muchtar, Kamal dkk. Ushul Fiqih Jilid
1.
PT. Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syarifuddin,  Amir
Ushul Fiqh Jilid 1. Logos wacana ilmu. Jakarta: 1997.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fikih.
Pustaka Amani. Jakarta. 2003.



[1]
Moh. Rifa’i. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.PT.
Karya Toha Putra. 1978. Hal 17
[2]
Chaerul Uman. Ushul Fiqih 1. CV.
Pustaka Setia. 2000. Hal 32-35
[3]Kamal
Muchtar, dkk. Ushul Fiqih Jilid 1. PT.
Dana Bhakti Wakaf. 1995. Hal.88-89
[4]Ibid.hal.89
[5]
Amir syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid 1. Logos wacana ilmu. Jakarta: 1997. Hal 73.
[6] ibid. Hal 73-74.
[7] Ibid. hal 75
[8] Ibid. hal 77
[9] Ibid. hal 78-79
[10]
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih.
Pustaka Amani. Jakarta. 2003. Hal 40
[11] Op Cit. Amir Syarifuddin. Hal 95
[12] Op Cit. Abdul Wahhab Khallaf. Hal 41
[13] Ibid. Hal 43
[14] Op Cit. Chaerul Uman, dkk. Hal 67
[15] Ibid. Hal 68-89
[16] Op Cit.Abdul Wahhab Khallaf. Hal 49
[17] Op Cit. Amir syarifuddin.hal 95-97.
Rate this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *