Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih

Diposting pada
MAHKUM FIH
Revisi Makalah
 Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Semester III
Mata Kuliah
: U
shul Fiqih
Dosen Pengampu




















Makalah Ushul Fiqih Mahkum Fih

Disusun
Oleh
Kelompok 9 :
1…………………………………………



 


SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PAI
TAHUN
20xxxxx
A.    Pendahuluan
Sebelum kita mempelajari banyak tentang Ilmu Fiqh, setidaknya kita
pelajari bagaimana hukum-hukum Fiqh menurut syara’ terlebih dahulu. Banyak
dalam realita kita sehari-hari yang mana penggunaan Ilmu Fiqh dengan cara
mereka sendiri, atau bisa disebut membuat hukum sendiri. Setiap hukum dari
hukum-hukum syar’i itu tidak dapat bersangkutan dengan salah satu perbuatan
mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan.
Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang diberati itu
tidak lain selain dari dengan perbuatan. Artinya hukukm syar’I taklifi itu
tidak bersangkut selain dari perbuatan mukallaf. Apabila hukum syar’i itu
merupakan wajib atau mandub, maka perintahnya itu jelas. Karena persangkutan
wajib itu adalah perbuatan wajib atas jalan yang pasti.
Persangkutan mandub adalah perbuatan yang disunnahkan, bukan atas jalan perintah
dan pasti. Maka taklif disini dalam dua hal dengan satu perbuatan. Apabila
hukum syar’i itu berupa haram atau makruh, maka si mukallaf di sini berada pada
dua hal. Dia juga memperbuat. Karena dia menahan dirinya dari memperbuat yang
haram atau yang makruh.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemahan diatas, kami dapat
menyimpulkan beberapa pokok permasalahan diatas, yakni sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari Mahkum Fih ?
2.      Apa saja syarat Mahkum fih?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih
adalah perbuatan mukallaf (manusia) yang berhubungan dengan hukum syara’.[1]
Allah SWT berfirman dalam kitab sucinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman
tepatilah janjimu
(QS Al Maidah: 17 )
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya
.(QS Al  Baqarah :
282)
Yang
dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkutan dengan salah satu pembicaraan si
mukallaf, yaitu menuliskan utang piutang. Hukumnya di sini ialah Mandub
(sunnah). Turunnya ayat ini dimaksudkan agar dari kedua belah pihak yang
mempunyai ikatan perjanjian utang piutang atau dalam hal muamalah tidak
dirugikan satu sama lain karena adanya suatu akad dan bukti baik tertulis
maupun saksi dari persetujuan kedua belah pihak. Agar tidak terjadi pertikaian
diantara keduanya.
Firman Tuhan dalam Al-Quran Q.S. Al An’am ayat 151*
 wur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ                                                                                              
yang berarti
“dan janganlah kamu membunuh diri”. Pengharaman yang diambil dari
firman tersebut berhubungan dengan salah satu perbuatan para mukallaf yaitu
membunuh jiwa, maka ia dijadikan sebagai yang diharamkan.
Haram
dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkut dengan salah satu perbuatan
mukallaf, yaitu membunuh diri.maka disini hukumnya haram. Allah berfirman dalam
al-Quran, “dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
kepadanya “. Makruh yang dipergunakan dari pembicaraan ini bersangkut dengan
salah satu perbuatan si mukallaf yaiu menafkahkan harta yang buruk. Di sini
hukumnya adalah makruh. Allah berfirman “Barang siapa diantara kamu yang sakit
atau dalam perjalanan maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang
dtinggalkannya itu pada hari yang lain. Pembicaraan ini bergantung dengan sakit
dan perjalan. Kedua hal ini hukumnya mubah untuk memperbukakan puasa. [2]
Mahkum Fih
juga bisa didefinisikan sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia (mukallaf), atau dibiarkan oleh
pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah Ulama’ Ushul Fiqh, yang
dimaksut Mahkum fih atau Obyek Hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum
itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada dzat. Umpamanya “daging babi”. Pada
daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya
hukum larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu perbuatan
memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Hukum
syara’terdiri atas dua macam yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i. hukum
Taklifi jelas menyangkut perbuatan mekallaf, sedangkan sebagian hukum wadh’i
ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincurnya
matahari untuk masuknya kewajiban shalat dhuhur. Tergelincirnya matahari itu
sebagai sebab adalah hukm wadh’i, dan karena ia tidak menyangkut perbuatan
mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum
Memang perbuatan itu melekat pada manusia hingga bila suatu
perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka belaku pada manusia
yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif. Dengan demikian untuk
menentukan apakah seseorang dikenai beban hukum suatu perbuatan, tergantung
pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum
[3]
   
2.      Syarat Mahkum Fih
Perbuatan
yang sah menurut syara’ untuk diharuskan memiliki tiga syarat:
Ø 
Tuntutan perbuatan itu harus diketahui
mukallaf secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya sebagaimana yang
dituntutkan. Atas dasar ini nash al-Qur’an yang masih global artinya belum
jelas maksudnya, tidak sah menurut mukallaf untuk melakukannya kecuali setelah
mendapat keterangan dari Rasulullah SAW. Misalnya firman All
ah SWT.
فمن
كان منكم مريضااوعلى سفرفعدةمن ايام اخر                                              
Artinya “maka
barang siapa diantar kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka). Maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari yang lain”
. Nash al-Qur’an yang belum menjelaskan rukun, syarat dan
cara melaksanakannya. Demikian pula dengan haji, puasa, zakat dan semua bentuk
perbuatan yang berhubungan dengan tuntutan syari’ yang bersifat global yang
tidak diketahui maksudnya, maka tidak sah dituntutkan kepada mukallaf untuk
melaksanakannya kecuali setelah mendapat penjelasan.
Oleh karena itu Allah memberi kekuasaan
kepada Rasulnya untuk memberikan penjelasan dengan firmannya:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ
إِلَيْهِمْ
Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(QS. An-Nahl: 44)[4]
Ø 
Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu
keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya
wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini keingina mukallaf akan
mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.
        Hendaklah
diketahui bahwa taklif itu dimilki oleh orang yang memiliki kekuasaan taklif
(paksaan). Dari orang yang harus diikuti oleh mukallaf tentang hukum-hukumnya.
Denagn ilmunya inilah diarahkan maksudnya untuk mengikuti perintahnya itu.
        Harus pula diperhatikan bahwa yang dimaksud
dengan ilmu mukallaf ialah sesuatu yang dipikulkan kepada mukallaf, dan dengan
itulah dia mengetahuinya. Bukan mengetahuinya itu dengan perbuatan. Apabila
orang itu baligh dan berakal, dia sanggup mengetahui hukum-hukum syar’I dengan
sendirinyaatau bertanya kepada orang-orang yang mengetahuinya.[5]
Ø 
Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf
harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu dilakukan atau dihindari oleh
mukallaf.
1.      Tidak sah menurut syara’ pembebanan yang mustahil, baik mustahil sebab perbuatan
itu sendiri atau mustahil sebab yang lain. Mustahil dengan sendirinya artinya
mustahil menurut akal, yaitu sesuatu yang tidak dapat digambarkan adanya,
seperti memadukan dua hal yang bertentangan, misalnya mewajibkan dan
mengharamkan satu perbuatan dalam waktu yang bersamaan kepada satu orang, atau
memadukan antara dua hal yang berlawanan, seperti tidur dan menjaga dalam satu
waktu.
Seperti sabda Rasulullah yang berbunyi;
صلواكمارايتموني
اصلي                                                                      
    
Sedangkan mustahil sebab yang lain atau
yang bersifat kebiasaan adalah sesuatu yang dapat digambarkan oleh akal, tetapi
tidak berlaku menurut hukum alam atau menurut kebiasaan, seperti orang yang
terbang tanpa sayap, tumbuhnya tanaman tanpa biji.
Karena sesuatu yang
tidak dapat yang tidak dapat digambarkan oleh akal atau adat tidak mungkin
dipaksakan untuk dikerjakan dan itu tidak kemampuan mukallaf.
2.      Tidak sah menurut syara’ membebani seorang mukallaf agar orang lain
berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena melakukan atau meninggalkan
perbuatan orang lain itu adalah tidak mungkin bagi dirinya sendiri. Sesuatu
yang dibebankan kepada mukallaf yang dikhususkan untuk yang lain adalah
nasihat, perintah kebaikan dan melarang kejahatan, inilah yang mungkin baginya.
Begitu juga tidak sah menurut syara’,
membebani seseorang dengan sesuatu yang bersifat watak, yang berupa akibat dari
sebab-sebab naluri, sedangkan dia tidak mungkin mencari dan mengusahakan.
Misalnya emosi ketika marah, bermuka merah ketika malu, cinta, benci, sedih
bahagia dan ketakutan ketika ada sebab-sebabnya, ada dan tidaknya hal itu adalah
tunduk kepada hukum alam (kehendak Allah), bukan harus tunduk kepada kehendak
dan usaha manusia, ini sudah keluar dari kemampuan manusia dan bukan sesuatu
yang mungkin.[6]
Persyaratan ketiga tersebut bahwa perbuatan
itu berada dalam batas kemampuan mukallaf menjadi pokok pembicaraan ahli Ushul
Fikih dalam hal objek hukum. Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang
mukallaf melakukan sesuatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia mampu
melaksanakannya. Seseorang hamba tidak akan dituntut untuk melakukan sesuatu
yang tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah firman
Allah yang
berbunyi;
لايكلف الله نفسا
الاوسعها                                                          
 
Yang
artinya sebagai berikut; “Allah tidak akan membebani hambanya kecuali
semampunya.”
Menurut
sesorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya berarti memberatkan
seseorang melakukan sesuatu sedangkan Allah menginginkan kemudahan bagi umat,
bukan kesulitan sesuatu, dengan firman Allah dalam surat al-Baqoroh 2: 185
3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (
Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak
menghendaki darimu kesulitan.[7]
D.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat kami
simpulkan yakni pengertian dari Mahkum fih adalah perlakuan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syara’, dan juga ada pendapat lain yang mengartikan
bahwa objek hukum atau Mahkum Fih yaitu sesuatu yang dikehedaki pembuat hukum
untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia atau dibiarkan oleh pembuat
hukum untuk dilakukan atau tidak.
Sedangkan syarat Mahkum Fih atau Objek
Hukum tersebut kurang lebihnya dibagi menjadi tiga macam,
a.       Perbuatan itu sah dan jelas adanya tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”
b.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin
berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh
seorang menggantang angin.
c.       Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallafdan berada
dalam kemampuannya untuk melakukannya.
  
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fikih Jilid 1,
PT Logos wacana ilmu, Pamulang, 1997
Wahab, Abdul khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
Pustaka Amani, Jakarta, 2003
Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Umam, Khoirul, Ushul Fikih 1,Cv
Pustaka Setia, Bandung, 2000



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka
Amani. Jakarta, hal 177
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka
Cipta. Jakarta hal: 155
[3] Amir Syarifudin, uShul Fiqh jilid 1, PT Logos
Wacana Ilmu. Pamulang hal 350-351
[4] Ibid. Abdul Wahab Khallaf. Hal 179-180
[5] Ibid. Abdul Wahab Khallaf, Rineka cipta hal 157
[6] Op. Cit hal 181-183
[7] Op. Cit hal 351
Rate this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *