DAN UMRAH
satunya, yang merupakan rukun Islam yang ke lima. Ibadah haji baru
disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah menurut jumhur ulama, dan diwajibkan
hanya sekali dalam seumur hidup. Yang mana haji dan umrah adalah kewajiban bagi
setiap orang Isam yang sehat dan mampu baik mampu dalam hal kesehatan juga
mampu dalam permasalahan biaya. Demikian pula dengan penempatan haji dan umrah
sebagai rukun Islam kelima atau yang paling akhir.
karena ibada haji merupakan ibadah yang paling berat , memerlukan biaya yang
mahal, waktu yang cukup lama dan kesiapan fisik –material serta
mental-spiritual yang harus benar-benar baik. Belum lagi memperhatikan tempat
penyelenggaraan haji dan umrah itu
sendiri yang harus dilakukan di tempat-tempat tertentu dan waktu-waktu [i]tertentu pula. Ibadah haji
dan umrah merupakan ibadah yang meminta seluruh kesiapan kita baik rohani maupun
jasmani.[1]
(2) ayat 196-197
Karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau Karena sakit),
Maka (sembelihlah) korban[120] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu[121], sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan
bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku Hai
orang-orang yang berakal.
Mufrudat
sengaja atau niat,dalam syari’at adalah berkunjung atau berziarah ke tempat-tempat
tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
al-i’timar yang secara etimologi berarti berziarah.
kesempitan.
pelaku haji atau pelaku umrah di Bait al-Haram berupa hewan ternak.
daerah yang dijadikan miqot atau tempat star niat haji dan atau umrah.
ucapan yang keji. Ada yang menafsirkan dengan bersetubuh dan ada pula yang
menafsirkan dengan pembicaraan kotor, kemudian para mufassir menyimpulkan bahwa
rafast ialah setiap ucapan, sikap dan perbuatan yang menjurus ke arah seksual
yang berpuncak pada senggama.
gelar yang buruk, atau dapat ditafsirkan dengan tindakan-tindakan yang keluar
dari batas-batas yang ditentukan syara.
bantahan-bantahan, dalam kebiasaan yang umum berlaku, dan sering terjadi antara
pihak yang dilayani dan yang melayani di perjalanan, karena sempitnya tempat atau
waktu dan yang menimbulkan ketidaksukaan pada hati masing-masing pihak.[2]
Asbabul an-Nuzul
sebab turunnya ayat 196-197 surat al-Baqarah, terdapat berbagai riwayat yang
satu sama lain berbeda-bada. Diantaranya riwayat yang dimaksudkan ialah:
dari Shafwan bin umayyah, bahwa seorang laki-laki berjubah yang semerbak
wangi-wangian Za’faran menghadap kepada Nabi M uhammad SAW. Dan kemudian ia
bertanya: “Ya Rasul Allah! Apakah yang harus saya lakukan dalam menunaikan
“umrah?” Lalu turunlah Firman Allah: “wa’atimm al-hajj wa al-‘umrata lillahi.”
Kemudian Rasulullah SAW. bersabda seraya beliau bertanya: “Mana orang yang tadi
menanyakan masalah ‘umrah itu?” Orang tadi menjawab: Saya ya Rasul Allah.”
Selanjutnya Rasul Allah SAW. bersabda: “Tinggalkanlah bajumu, kemudian
bersihkan hidung dan mandilah sesuka kamu, dan lalu kerjakanlah apa yang biasa
engkau kerjakan pada waktu mengerjakan haji.” Riwayat di atas paling sedikit
oleh sebagian ahli sebab nuzul, dinyatakan sebagai hadits gharib.[3]
lain dikemukakan ka’ab bin ‘Ujzah
berkata. “Aku dibawa ke hadapan Rasulullah saw. Dalam kondisi sakit parah.
Kutu-kutu terlihat bertebaran di wajahku. ‘Aku tidak mengira aku akan
menghadapi keadaan menyedihkan seperti ini. Apa kau punya kambing?’ Tanya
Rasulullah saw. ”Tidak”, jawab ka’ab ra. ‘ Puasalah tiga hari atau berilah
makan enam orang miskin. Setiap orang mendapat satu setengah sha’, kemudian
cukurlah rambutmu.
lain dikemukakan bahwa “Orang-orang Yaman selalu menunaikan ibadah haji dengan
tanpa membawa bekal. Mereka berkata, ‘Kami bertawakal kepada Allah. “Akan
tetapi, sesampainya mereka di madinah, mereka meminta-minta kepada orang-orang.[4]
Hukum melaksanakan haji dan umrah
perbedaan pendapat di kalangan mufassirin mengenai apa yang dimaksud dengan
”itmam al-hajj wal umrah” dalam firman Allah واتمواالحج والعمرة لله sebagian menyatakan, yakni tunaikan keduanya
(haji dan umrah) itu dengan sesempurna mungkin, sesuai dengan manasik dan
syarat-syarat keduanya, semata-mata karena Allah tanpa ada tambahan dan
pengurangan sekecil apapun. Adapula yang menafsirkan demikian ”sempurnakanlah
haji dan umrah itu dengan melaksanakan keduanya masing-masing sendiri-sendiri,
tidak digabung atau dipisah. Sementara sebagian yang lain menafsirkan bahwa
nafkah (biaya) yang digunakan untuk haji itu harus bersumsber dari rizki yang
halal, dan adapula yang menyatakan bahwa dalam melakukan haji dan umrah itu
haruslah semata-mata ikhlas untuk beribadah, tidak dicampur baurkan atau
disusupi tujuan lain yang bersifat keuntungan duniawi semisal dagang.[5]
digelari dengan al-Hajj al-asghar (haji kecil), juga memiliki posisi penting
dalam syariat islam, meskipun tentang hukumnya itu sendiri diperselisihkan oleh
ulama. Berbeda dengan haji yang
hukum wajibnya telah menjadi konsensus (muttafaq ‘alaih) di kalangan kaum
muslimin.[6]
Dalam hukum umrah masih terdapat perbedaan pendapat:
mewajibkan seperti para ulama’ fiqih, Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Umar, Ibn
‘Abbas, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.[7]
juga yang menyatakan hukum umrah sebagai sunnah seperti Ibn Mas’ud, Jabir ibn
‘Abdillah, Maliki, Hanafi.[8]
Masalah orang yang melakukan haji tamattu’ sementara dia tidak mendapatkan
hewan korban
تمتع بالعمرة فما استيسر من الهدي)Jika
orang yang melakukan haji tamattu’ (mendahulukan umrah) tidak mendapatkan
al-hadyu baik karena hewannya sendiri tidak ada atau tidak berkemampuan untuk
membelinya.[9]
Maka diwajibkan berpuasa tiga hari ketika haji dan tujuh hari setelah pulang
kembali ke kampung halaman.[10]
para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: (فصيام
ثلاثة ايام في الحج) al-Baqarah : 196.
puasa yang dilakukan sebelum yang bersangkutan melakukan ihram haji, yaitu
mulai persyariatan ikhram haji hingga hari Nahar dan yang mustahab adalah pada
sepuluh hari sebelum hari arafah. Dan tidak boleh melakukannya pada hari-hari
tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).[11]
Hanifah yang dimaksud bulan-bulan haji yaitu antara dua ikhram yaitu ikhram
umrah dan ikhram haji. Setelah selesai umrah, ia boleh berpuasa, walaupun
setelah itu dia belum berikhram untuk haji. Namun demikian Abu Hanifah mengakui
bahwa yang paling baik puasa tiga hari itu dilakukan pada hari-hari tarwiyah
dan arofah serta sehari sebelum kedua hari tersebut, tepatnya tanggal 7, 8, 9
Dzulhijjah.[12]
menurut ulama’ yang lain menyatakan bahwa apabila sebelum idul ‘adha mereka tidak sempat
berpuasa, maka dibenarkan baginya untuk puasa pada hari-hari tasyrik sesuai
dengan pendapat ‘Aisyah dan Ibn Umar yang mengatakan bahwa “tidak ada
keringanan puasa selama hari-hari tasyrik kecuali bagi orang yang tidak
mendapat hewan kurban (al-Hadyu).[13]
Batasan orang yang tertahan/terhalang (al-muhshar)
استيسر من الهدي) ) Yaitu apabila kamu terhalang, baik karena sakit atau terkepung
musuh dan dan lain sebagainya, padahal kamu dalam keadaan ikhram untuk
menyempurnakan haji (itmam al-nusuk), dan kamu berkehendak untuk melakukan
tahallul, maka atas kamu menyembelih hewan kurbanyang mudah kamu dapatkan dari
jenis unta, lembu atau kambing; kemudian setelah itu, barulah kamu bercukur
(tahallul). Dan penyembelihan al-hadyu itu dapat dilakukan di tempat dimana dia
terkepung dan walaupun pada waktu tahallul.[14]
ada perbedaan pendapat, yaitu:
ulama Maliki, Syafi’i, dan Ahmad adanya ihshar terbatas pada halangan yang
timbul hanya terjadi karena blokade musuh, tidak termasuk sakit.[15]
Hanifah, pandangan tentang al-ihsar meliputi setiap faktor yang menghalangi
atau menghambat para jamaah haji ke Bait Allah, apakah itu karena musuh, sakit,
takut, atau kerena kehabisan bekal atau tersesat di tengah jalan dan lain
sebagainya.[16] Abu Hanifah
beranggapan dengan munculnya ayat tersebut, sebagaimana pendapat kebanyakan
ahli (bahasa) yang menggunakan kata al-ihsar dalam arti karena sakit atau
blokade musuh.[17]
Waktu pelaksanaan haji
اشهرٌ معلوماتٌ ) ) maksudnya untuk
menunaikan kewajiban haji itu telah ada bulan-bulan tertentu yang dipermakluman
kepada manusia yaitu bulan Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Pada kata “
Ma’lumat “ demikian al-Maraghi, tersirat pengakuan yang memperkuat kebenaran
anggapan bangsa Arab selama ini yang memandang bulan-bulan tersebut sebagai
bulan-bulan haji.[18]
penentuan waktu haji pada bulan-bulan tersebut, mengindikasikan bahwa
pelaksanaan rangkaian ibadah haji yang dilakukan di luar bulan-bulan tersebut
tidak sah, missalnya mengerjakan haji di bulan Rajab, atau Sya’ban dan
lain-lain. Penentuan waktu ibadah semacam ini sesungguhnya tidak hanya terdapat
pada pelaksanaan ibadah haji, melainkan juga pada ibadah-ibadah lain seperti
puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain khususnya shalat.[19]
ilmu terdapat perbedaan pendapat dalam rincian bulan-bulan haji.
syawal, dan Dzul Qa’dah, dan Dzul hijjah. Dan tidak fardlu haji kecuali dibulan
Syawal, dan Dzul Qa’dah, dan sembilan hari dari bulan Dzul Hijjah. Dan tidak
fardlu pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, yaitu dari bulan haji. [20]
dan kawan-kawan, bulan-bulan haji itu adalah Syawal, dan Dzul Qa’dah (seluruhnya)
serta sepuluh hari pertama pada bulan Dzul Hijjah. Dari ucapan Ibn Abbas,
al-Sudi, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i.[21]
Hal-hal yang diharamkan waktu ikhram
فيهنَّ الحجّ فلا رفث ولا فسوقَ ولا جِدال فِي الحجِّ )) Yakni siapa saja yang telah menetapkan
dirinya untuk melakukan haji di bulan-bulan tersebut, dengan sengaja niat haji
di dalam hati, mengenakan pakaian ihram sebagai perbuatan lahir, serta
mengucapkan dan atau mendengarkan talbiyah, maka tidak lagi dibolehkan berbuat
rafats, berlaku fusuq dan terlibat jidal. Seperti di uraikan diatas, al-Rafats
adalah ucapan, sikap dan perbuatan yang berbau seksual yang puncaknya adalah
jima’. Sepakat ulama bahwasannya melakukan persetubuhan sebelum wuquf di Arafah
mengakibatkan hajinya mufsid ( rusak/cacat ).[22]
yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang tengah berihram ialah:
dan faktor-faktor jima’ seperti mencium, memegang dengan syahwat, berbicara
jorok.[23]
sesuatu yang jelek, dan derbuat maksiat yang mengeluarkan manusia dari
ketaatannya kepada Allah.[24]
dengan orang lain khususnya dengan sesama jama’ah haji, para pelayan dan
pihak-pihak terkait lainnya dan mengarah pada perselisihan.[25]
riwayat bukhori dari Abu Hurairah, Rasul Allah berkata: barang siapa yang haji dia tidak
melakukan rafats, dan tidak melakukan fusuq, maka ia akan kembali suci seperti
pada hari dia dilahirkan ibunya.[26]
Kesimpulan
makalah di atas dapat kami simpulkan bahwa:
Hukum melaksanakan haji dan umrah
والعمرة لله)) dalam ayat ini ada perbedaan pendapat dari para mufassirin yaitu: tunaikan keduanya (haji dan
umrah) itu dengan sesempurna mungkin, sesuai dengan manasik dan syarat-syarat
keduanya, semata-mata karena Allah tanpa ada tambahan dan pengurangan sekecil
apapun. Adapula yang menafsirkan demikian ”sempurnakanlah haji dan umrah itu dengan
melaksanakan keduanya masing-masing sendiri-sendiri, tidak digabung atau
dipisah. Hukum melaksanakannya yaitu ada yang mengatakan wajib dan ada yang
mengatakan sunnah.
Masalah orang yang melakukan haji tamattu’ sementara dia tidak
mendapatkan hewan korban
الى الحج فما استيسر من الهدي)) Jika orang yang berhaji tamattu’ tidak mendapat al-Hadyu, maka ia diwajibkan
berpuasa tiga hari diwaktu haji dan tujuh hari setelah pulang kembali ke kampung halaman. Akan tetapi para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: (فصيام ثلاثة ايام في الحج)
al-Baqarah : 196. Menurut imam Asy-syafi’i adalah tidak sah puasa yang
dilakukan sebelum yang bersangkutan melakukan ihram haji. Sedangkan menurut Abu
Hanifah setelah selesai umrah, ia boleh berpuasa, walaupun setelah itu dia
belum berikhram untuk haji.
Batasan orang yang tertahan/terhalang (al-muhshar)
استيسر من الهدي)) Yaitu apabila kamu terhalang, baik karena sakit atau terkepung
musuh dan dan lain sebagainya, padahal kamu dalam keadaan ikhram untuk
menyempurnakan haji (itmam al-nusuk), dan kamu berkehendak untuk melakukan
tahallul, maka atas kamu menyembelih hewan kurbanyang mudah kamu dapatkan dari
jenis unta, lembu atau kambing; kemudian setelah itu, barulah kamu bercukur
(tahallul).
Waktu pelaksanaan haji
معلوماتٌ )) maksudnya untuk menunaikan kewajiban haji itu telah ada
bulan-bulan tertentu yang dipermakluman kepada manusia yaitu bulan Syawal, Dzul
Qa’dah dan Dzul Hijjah. Terdapat perbedaan pendapat dalam rincian bulan-bulan
haji.
syawal, dan Dzul Qa’dah, dan Dzul hijjah. Dan tidak fardlu haji kecuali dibulan
Syawal, dan Dzul Qa’dah, dan sembilan hari dari bulan Dzul Hijjah. Dan tidak
fardlu pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, yaitu dari bulan haji. Sedangkan menurut imam
Malik dan kawan-kawan, bulan-bulan haji itu adalah Syawal, dan Dzul Qa’dah
(seluruhnya) serta sepuluh hari pertama pada bulan Dzul Hijjah. Dari ucapan Ibn
Abbas, al-Sudi, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i.
Hal-hal yang diharamkan waktu ikhram
الحجّ فلا رفث ولا فسوقَ ولا جِدال فِي الحجِّ )) Yakni siapa saja yang telah menetapkan
dirinya untuk melakukan haji di bulan-bulan tersebut, dengan sengaja niat haji
di dalam hati, mengenakan pakaian ihram sebagai perbuatan lahir, serta
mengucapkan dan atau mendengarkan talbiyah, maka tidak lagi dibolehkan berbuat
rafats, berlaku fusuq dan terlibat jidal.
dan faktor-faktor jima’ seperti mencium, memegang dengan syahwat, berbicara
jorok, Mengerjakan sesuatu yang jelek, dan derbuat maksiat. Berdebat dengan
orang lain khususnya dengan sesama jama’ah haji, para pelayan dan pihak-pihak
terkait lainnya dan mengarah pada perselisihan.
PUSTAKA
Amin. Tafsir Ahkam 1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1997.
Tafsir Qur’an Maghfiroh. Pustaka. Jakarta. 2009.
الاول.
الاول.
Tafsir Ahkam 1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1997. Hal 99
Qur’an Maghfiroh. Jakarta: Pustaka. 2009. Hal. 30-31
,وابن عمر , واب عباس. اختلف الفقهاء في حكم العمرة, فذهب الشفعية والحنا
بلة الى انها وابة كالحج, وهو مروي عن علي
والحنفية الى انها سنه, وهو مروي عن ,ابن سعود, جابر بن عبد الله.
juz awal. Hal 177.
اما لعدم المال, او لعدم الحيوان
الحج, وسبعة ايام اذا رجع الى اهله.
) وهي من عند شروعه فى الحرام الى يوم ا قال الشفعي : لا يصح صومه الا بعد الا حرام في
الحج لقوله تعالى : (فىى الحج
المراد في اشهر الحج وهو ما بين الاحرامين (احرم العمره ) و (احرم الحج) فاذا انتهي
من عمرته حل له الصيا م وان لم يحرم بعد بالحج, والافضل ان يصوم يوم التروية, ويوم
عرفه, ويوما قبلها يعني ,السابع, والثامن, والتاسع, من ذي الحجة.
ان من لم يصم هذه الايام قبل العيد , فله ان يصومها في ايام التشريق , لقول عائشه
وابن عمر رضي الله عنهما لم يرخص في ايام تشريق ان يصمن الا لمن لا يجد الهدي.
يدل على انه حصر العدو لا حصر المرض.
ابو حنيفه :الى ان الاحصار يكون من كل حابس يحبس الحاج عن البيت, من عدو, او مرض,
اوخوف,اوذهاب نفقة, اوضلال راحلة, او موت محرم الزوجة في الطريق, وغير ذلك من
العذار المانعة.
فان الحصار-كما يقول اهل الغة – يكون بالمريض, واما الحصر المنع والحبس, فيقون
بالعدو, فلما قال تعالي: ولم يقل دل على انه اراد مايعم المرض والعدو.
Darul fikr. Hal 88.قال: اشهر الحج :
شوال, وذو القعدة, وذو الحجه. ولا يفرض الحج الا فى شوال كله, وذي القعده كله
,وتسع من ذي الحجه .ولا يفرض : اذا خلت عشر ذي الحجه, فهو :من شهور الحج, والحج
بعضه دون بعض.
الجمهر مالك, والشافعي, واحمد : الى ان اشهر الحج (شوال, وذو القعده , وعشر من ذي
الحجه ) وهو قول ابن عباس , والسدي, والشعبي, والنخعي.
Op. Cit. Hal 117-118.
بشهوة, والافحاش بالكلام والحديث مع المراة الذي يتعلق بلوطء او مقدماه.
التي تخرج الانسان عن طاعة الله عز وجلز
والخدم وغيرهم.
في صحيحه عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي ص.م. قال: من حج فلم يرفث, ولم يفسق,
رجع من ذنوبه كيوم ولدته امه.