penetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, yang tertuntun wahyu (al-Qur’an),
sehinga kedudukan hadits dalam khazanah sumber hukum Islam menjadi sesuatu yang
tidak dapat di pisahkan dari sumber Islam yang pertama yakni al-Qur’an. Hal ini
berarti bahwa setelah kitab suci al-Qur’an, sebagai sumber Islam yang kedua
adalah hadis. Oleh karena itu, sebagai umat Islam harus dapat mempelajari dan
berusaha untuk melaksanakan segala sesuatu yang ada di dalam hadits tersebut.
Apalagi di dalamnya banyak terdapat petunjuk, perintah, maupun larangan dari
Rasulullah Muhammad SAW.
sebagai sumber ajaran Islam yang kedua dan tampil untuk menjelaskan (bayan)
keseluruhan isi al-Qur’an kaum muslim sepakat bahwa hadits merupakan hukum yang
kedua setelah al-Qur’an. Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh
dari dalil-dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan dan fungsi hadits,
maka dengan demikian kewajiban umat Islam harus dijadikan hukum (hujjah)
dalam melaksanakan perintah al-Qur’an yang masih ijma’ dan hadits sebagai
penjelas untuk melaksanakannya yaitu melaksanakan apa yang di contohkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW berarti mentaati perintah Allah.
Masalah
tertera di atas dapat mengambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
Apa
yang dimaksud bayan al-Taqrir ?
Bagaimana
menurut beberapa ulama’ tentang bayan al-Taqrir ?
Bayan
al-Taqrir
al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-Ta’qid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud
bayan ini ialah, menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan di dalam
al-Qur’an, fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Suatu contoh hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi
sebagai berikut :[1]
فصو مو اواذا رايتموه فأفطروا (رواه مسلم)
kalian melihat (Ru’yah) bulan maka berpuasalah, juga apabila melihat (Ru’yah)
itu maka berbukalah”. (HR. Muslim)
ini datang mentaqrir ayat al-Qur’an di bawah ini :
فليصمه ( البقرة ٢ : ١٨٥)
barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpusa”. (QS.
Al-Baqarah (2) : 185)
lain, hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut :
اللّه عليه وسلّم لاتقبّل صلاة من احدث حتّى يتوضع (رواه البخارى)
SAW telah bersabda : tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia
berwudlu”. (HR. Bukhari)
ini mentaqrir QS. Al-Maidah (5) : 6 mengenai keharusan berwudlu ketika
seseorang akan mendirikan shalat, ayat yang dimaksud berbunyi :
أمنوا إذا قمتم إلى الصّلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءسكم
وأرجلكم إلى الكعبين (المائده ٥ : ٦ )
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basulah) kakimu
sampai dengan mata kaki”. (QS. Al-Maidah (5) : 6)
hadits Rasulullah SAW tentang dasar-dasar Islam yang diriwayatkan Ibnu Umar
yang berbunyi :[2]
اللّه عليه وسلّم بني الاسلام على خمس شهادة انّ لااله الّااللّه وانّ محمدارسول
اللّه وإقام الصّلاة وايتاء لزّكاة والحجّ وصوم رمضان (رواه البخارى)
yaitu mengucapkan kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada
bulan ramadhan”. (HR. Bukhari)
ini mentaqrir ayat-ayat al-Qur’an tentang syahadat (QS. Al-Hujarat (49) : 15)
امنوا باللّه ورسوله ثم لم ير تا بوا وجاهدوا باموالهم وانفسهم فى سبيل اللّه
اولئك هم الصّدقون ( الحجرات ٤٩
: ١٥ )
orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwanya di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS.
Al-Hujarat (49) : 15)
shalat dan zakat (QS. An-Nur (24) : 56)
لعلّكم ترحمون (النور ٢٤ : ٥٦
zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat”.
(QS. An-Nur (24) : 56)
(3) : 97)
ابراهيم ومن دخل كان امنا واللّه على النّاس حجّ البيت من استطاع اليه سبيلا ومن
كفر فان اللّه غنيّ عن العالمين ( ال عمران ٣
: ٩٧)
sana terdapat tanda-tanda yang jelas,(diantara) maqam Ibrahim. Barangsiapa
memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan di antara kewajiban manusia terhadap
Allah adalah melaksanakan haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu
mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka
ketahuilah bahwa Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.
(QS. Ali-Imran (3) : 97)
Hammadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’qid ini dengan istilah bayan Al-Muwafiq
li al-Nas al-Kitab. Hal ini di karenakan munculnya hadits-hadits ini sealur
(sesuai) dengan nas al-Qur’an.
kandungan dalam hadits itu setara dengan al-Qur’an, baik dalam mujmal (global/umum)
dan tafshili (terperinci). Oleh karena itu, hadits ini tidak bersifat
menambah atau menjelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur’an, akan tetapi hanya
sekedar menetapkan, memperkokoh, dan mengungkapkan kembali apa yang terdapat
dalam al-Qur’an.[3] Seperti hadits berikut:
اتوب فى اليوم مائة مرّة (رواه مسلم)
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dan mohonlah ampunan kepadanya, karena
sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari”.
(HR. Muslim)
taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW. Terhadap apa yang
datang atau dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad SAW.
Membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya,
tanpa memberi penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri,
yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai hukum untuk menetapkan
suatu kepastian syara’.[4]
contoh hadits taqriri adalah sikap Rasulullah SAW. Yang membiarkan para sahabat
dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu keterangan, yaitu:
أحد العصر إلّا فى بني قريضة (رواه البخارى)
Quraidhah”. (HR. Bukhari)
sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut
sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat asar. Segolongan sahabat
lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan
serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada
waktunya. Sikap para sahabat ini di biarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tanpa ada
yang disalahkan atau diingkarinya.[5]
Para Ulama’ berbeda pandapat tentang penjelasan hadits terhadap al-Qur’an.
Menurut
Ulama’ Ahl al-Ra’y, penjelas hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut :
keterangan yang didatangkan dari sunnah untuk memperkokoh apa yang telah
diterangkan oleh al-Qur’an.
Menurut
Imam Malik, Bayan Al-Hadits
dan memperkokoh hukum al-Qur’an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid
(membatasi) yang mutlak atau men-takhsish (mengkhususkan) yang ‘amm (umum).[6]
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bayan al-Taqrir disebut juga bayan
al-Ta’qid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan
dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits ini
hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Menurut
Ulama’ Ahl-al-Ra’y penjelas hadits terhadap al-Qur’an
keterangan yang didatangkan oleh sunnah atau memperkokoh apa yang telah
diterangkan oleh al-Qur’an.
Menurut
Imam Malik, Bayan al-Hadits.
dan mengokohkan hukum al-Qur’an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid (membatasi),
men-takhshish (mengkhususkan) yang ‘amm (umum)
pemaparan makalah kami mengenai fungsi hadits terhadap al-Qur’an untuk mata
kuliah ulumul hadits. Tentunya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah kami ini, Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pada pembaca
sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin
PUSTAKA
Suparta, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Mutawali Hamadah, As-Sunnah An-Nabawiyah wa nakanatuh fi al- Tasyri’, Dar Al Qoumiyah li
Ath-thiba’ah wa An-Nasyr, Kairo, 1965
Mutsna, Qur’an Hadits MA, Toha Putra, Semarag, 2002
Agus dan Solahudin Agus, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996
Noor Sulaiman, Ilmu Hadits, Perseda Pres,
Jakarta, 2008
Hadis, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm.58-60
Al-Tasyri’, Dar Al-Qoumiyah li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr, Kairo,1965
2008, hlm. 22-23
1996, hlm.15