universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara
lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang
dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali
hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz
atau kebahasaan.
ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah
berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam
bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal
ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga
terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah
fiqkiyah.
mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari
kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui
kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting
diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz
musytarak, ‘aam dan lafadz khas. Makalah ini akan membahas lafadz musytarak, ‘aam dan lafadh khas secara lebih
mendalam.
Musytarak, ‘Aam dan khash?
lafazh Musytarak, ‘Aam dan khash?
bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz ‘aam?
‘Aam, dan Khash
al-‘âm yaitu dilihat dari segi
penetapan penempatan lafazh bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafazh musytarak sebagaimana dijelaskan oleh Abû Zahrah[1] adalah:
الذى يـدل عـلى مـعـنـيـيـن أوأكـثـر بـوضـع مخـتـلـف
atau lebih dengan penggunaan berbeda.
istytirak disyaratkan dua hal, yaitu: terdapat beberapa penerapan suatu lafaz dan juga terdapat beberapa pengertian dari
lafaz, sehingga suatu lafaz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian
atau lebih.[2]
melihat, mata air, mata-mata, matahari, mata uang, dan yang lainnya. Akan
tetapi ketika lafaz mata itu dilafazkan, maka tidaklah dimaksudkan keseluruhan
pengertian tersebut, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satunya.[3]
ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencangkup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu .[4]
lafal ‘amm sebagai berikut :
mencakup banyak, baik secara lafad
maupun makna (Al- BAdzdawi :1:33)
diantaranya al-ghozali :
lafad yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
badzdawi :
cocok untuk lafal tersebut dengan satu kata.[5]
lafadz amm seperti kata-kata “ Al- insani dalanm firman Allah :
manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman
dan mengerjakan ama saleh.
Al insani yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan
mencangkup seluruh makhluk yang disebut manusia.(Zaina Abidin.1975.68)
lafadz yang
digunakan untuk menunjukkan sesuatu arti khusus, misalnya satu orang atau hal atau barang tertentu, seperti si Ahmad
itu , Bangku itu.[6]
untuk seorang, barang, atau hal tertentu seperti; Abdullah, radio, atau puasa
ramadhan. Dan ada kalanya kalimat ini digunakan untuk dua orang atau barang
seperti dua orang suami istri. Lafalz khusus ini dipergunakan juga untuk lebih
dari dua orang yang tidak dibatasi seperti lafalz ar-rijaal (beberapa
orang laki-laki atau tiga orang laki-laki). Dengan demikian, yang dimaksud
dengan khas ialah lafalz yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi
juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak
mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
‘Aam dan khash
suatu lafaz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan
kecenderungan infirad (satu pengertian), maka yang dominan dalam zhann
ialah pengertian infirad, dan
kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain,
dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat. Karena itu,
bila terdapat di dalam al-Qur’an suatu lafaz yang memiliki kecenderungan
isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan isytirak.[7]
seorang mujtahid wajib menguatkan salah satu pengertiannya, dengan qarinah lafzhiyah atau haliyah yang merperkuat makna yang dimaksud. Yang dimaksud
dengan qarinah lafzhiyyah ialah apa yang dinyatakan orang yang menyatakan lafaz
tersebut; sedangkan qarinah
haliyah ialah sebagaimana
kebiasaan orang Arab ketika mendapat suatu nash dalam permasalahan tertentu.[8]
nash (al-Qur`an dan Sunnah) makna lughawi dan makna istilah, maka yang dipegangi adalah makna
istilah syar‘î. Jika lafaz musytarak itu mengandung beberapa makna lughawî,
maka mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud. Sebab, jelas
tidak seluruh arti yang dikehendaki oleh lafaz nash tersebut (oleh syar‘î),
melainkan salah satu saja dari beberapa arti itu.
disebabkan oleh lafaz itu sendiri. Oleh
karena itu, untuk mengetahui maknanya diperlukan penelitian yang mendalam
dengan memperhatikan qarînah yang dapat menjelaskan maksudnya. Sebagai contoh,
misalnya firman Allah:
بأنـفـسـهـن ثـلاثـة قـروء … (البـقـرة/٢ :۲۲۹)
ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci… (QS.
Al-Baqarah/2:229)
yang mengandung dua arti atau ganda yaitu: suci dan haid. Oleh karena itu
wanita yang ditalak oleh suami mereka itu apakah ber-‘iddah dengan
tiga kali suci atau tiga kali haid.
karena lafaz itu musytarak, yaitu suatu lafaz nash yang mengandung beberapa arti
sedangkan shighat-nya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.
‘Amm
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun
bersepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qorinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
hanabilah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu
termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan
kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada,
maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalahnya qath’i. [10]
diperhatikan:
sebagai dalil syar’I sebelum dicari terlebih dahulu ada dan tidak adanya
takhsis, kaidahnya adalah
الاخصص
umum kecuali harus di takhsis
ini dalah
يجوز
sebelum dicari mukhosisinya tidak diperkenankan
untuk memanfaatkan dalil ‘aam itu harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu
ada tidaknya mukhosisnya. Apabila tdak ada mukhosisnya maka boleh berpegang pada
keumuman dalail ‘aam itu sehingga tetap terus berlaku arti keumuman itu maka
hukumnya beararti umum.
setelah ditakhsis tetap berlaku bagi satuan-satuan lain yang tidak ditakhsis,
kaidahnya dalah:
setelah ditakhsis tetap berlaku sisa-sisa yang tidak dikhususkan.
yang sudah berlaku misalnya perempuan yang dicerai itu harus beriddah tiga
uruu’ khusus yang hamil iddahnya empat bulan sepuluh hari, berarti yang tidak
hamil, baik yang dicerai mati, cerai hidup, cerai sakit, dan sebagainya (dalam
arti umum), tetap ber idah tiga quru’.
khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan
dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..
mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh
itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun
qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan
kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
في
كل أربعين شاة شاة
“pada setiap empat puluh kambing, wajib
zakatnya seekor kambing”.
seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak
mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu
sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy.
qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah
untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan
memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor
kambing yang dizakatkan.
sesuai dengan arti sebenarnya, selama tidak ditemukan dalil yang memalingkannya
pada arti lain. contohnya, hukum yang dijatuhkan kepada orang kepada orang yang
menuduh berbuat zina adalah delapan puluh puluh kali dera, tidak poleh lebih
dan tidak boleh kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang dapat memalingkan
artinya pada arti lain, maka hukuman tersebut dilaksanakan sesuai dsengan dilalah
dari
buktis itu.
Seperti halnya dalam hadis yang menerangkann bahwa untuk setiap emapt puluh
ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor dan setiap orang mengeluarkann zakat
fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Madzhab Hanafi menganggap boleh
menyerahkan seekor kambing atau jumlah uang seharga seekor kambing. Demkian
pula dalam zakat fitrah, boleh menyershkan satu sha’ gandum atau uanag seharga
satu sha’ gandum atau kurma. Hal ini karena zakat ditujukan untuk kepentingan
fakir miskin, yanag pada suatu waktu lebih memerlukan barang dari pada uang dan
pada waktu lainnya lebih memerllikan uang dari pada barang. Jadi , lafal yang
mutlaq dilaksanakan sesuain dengan artinya dan kalauai di- qaidkan
sesuai pula dengan qaidnya.[11]
Pendapat Akibat ke khotian Dilalah Khash
ulama Hanafiah
tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz
khash tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khahs.
jumhur ulama
lafadz khas itu dilalahnya qath’I namun tetap mempunyai kemungkinan
perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang sabagai
penjelasan terhadap lafadz khas itu
itu Contohnya pada masalah ruku’:
ruku’lah bersama orang orang ruku’
hanafiah memandang bahwasanya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz khas untuk
suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan bardiri tegak tanpa tuma’ninah
hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah :
dan sholatlah karena engkau belum sholat
ulama’ hanafiah berpendapat bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya sholat ,
menurut mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan penambahan
atas lafadz khas AlQuran yang jelas.
menurut jumhur memandang lafadz khash itu mempunyai kemungkinan adanya
penjelasan atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khash itu sebagai
lafadz mujmal. Olah karena itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan
atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadits ahad yang merupakan
penjelasanya .(Achmad Syaf’I.2007,190)
Bentuk (shigat ) lafadaz ‘Aam
yang menunjukkan’Amm (umum)
jami’un, kaffah, ma’sya (artinya
seluruhnya)
الموتِ
yang berjiwa, akan merasakan mati. (QS. Al- Imran : 185)
( apa), aina, ayun (dimana), dan mata (kapan), misalnya
Ma ( apa)
Al-Muddasir:42)
lafadz ayyun
mempunyai nama-nama yang baik” (QS. Al-Isra’:110)
ma’rifad dengan alif lam ( al atau idhafah)
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah :275)
ta’rifkan ( ma’rifat ) dengan alif
lam atau dengan idhafah
قطعوا ايديهما pencuri laki-laki dan perempuan ( tanpa
kecuali) hendaknya dipotong tangannya.
nafi (meniadakan atau mengingkari) misalnya: لا وصية لوارس berarati secara umum , ahli waris itu tidak
boleh menerima wasiat untuk warisannya.
dan sebagainya)[12]
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا
harta anak-anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang- orang itu makan api
pada perut mereka” (QS. An-Nisa’ :10)
adalah lafald yang di letakkan untuk beberapa makna yang bermacam-macam dengan
penetapan yang bermacam-macam.
menurut istilah adalah ” Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap
semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “.Dengan pengertian lain,
‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-‘am
merupakan dalalah qat’iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting.
Sedangkan jumhur Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-‘am
bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Pegertiannya adalah “suatu lafadh yang dipasangkan
pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”. Atau pengertian
yang lain adalah “Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri,
dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” Al-Bazdawi.
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah
terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah
qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna
yang lain. Lafadz-lafadz yang menunjukkan’Amm yaitu diantaranya Lafadz kullun,
jami’un, kaffah, ma’sya, Isim istifham, Isim syarat, dan lain sebagainya.
Pustaka
Ilmu Ushul Fiqih. CV PUSTAKA SETIA. Bandung. 1999.
. PUSTAKA SETIA. Bandung 2001.
I. Dâr al-Fikr. Damaskus. 1986.
I (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), hal.
283.
fiqih. TERAS. Yogyakarta.2009. hlm.131
Aminudin. Ushul Fiqih II . PUSTAKA SETIA. Bandung . 2001. Hlm.62-69