Makalah KRITIK IBNU RUSYD TERHADAP SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Posted on
KRITIK IBNU RUSYD TERHADAP
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
A.     
Latar Belakang
Sebenarnya mengetahui dengan suatu pengetahuan tidak
berhubungan dengan sesuatu yang secara alamiah tidak terjadi. Pengetahuan
pencipta merupakan sebab bagi terjadinya sesuatu yang alamiah itu bagi maujud,
dimana dengan yang alamiah itu maujud itu berhubungan. Maka
ketidaktabuan kita terhadap yang alamiah (tabi’at) yang menjadi tumpuan kemaujudan
dan ketiadaan kita akan menemukan kejelasan bahwa jika Ibnu Rusyd menetapkan
sifat-sifat ketuhanan, tujuannya berbeda dengan tujuan yang dilakukan kalangan
Asy’ariyah. Demikian juga akan jelas bagi kita bagaimana Ibnu Rusyd menjelaskan
bahwa argumen para teolog dalam menetapkan sifat-sifat Allah dianggap sebagai
argumen yang tidak cocok dengan argumen demonstratif, sebab ia tidak
disandarkan pada akal, juga dianggap sebagai argumen yang tidak cocok dengan
syariat agama.[1]

Argumen ini menurut Ibnu Rusyd, yang disebut argumen
ketercegahan, tidak sesuai dengan argumen alamiah atau syari’ah. Sehingga dalam
menyebutnya sebagai argumen yang lemah. Karena, sebagaimana boleh di dalam
hukum akal menyatakan bahwa adalah mungkin (boleh saja) terjadinya perbedaan
antara keduanya, maka juga boleh atau mungkin keduanya bersepakat, misalnya
keduanya sepakat membuat satu ciptaan.[2]
Makalah KRITIK IBNU RUSYD TERHADAP SIFAT-SIFAT KETUHANAN

B.      
Pengertian

1.     
Biografi Ibnu Rusyd
2.     
Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Sifat-Sifat Ketuhanan
3.     
Hasil Karya Ibnu Rusyd

C.     
Pembahasan

a.      
Biografi atau sejarah kehidupan Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu al-Wahid Muhammad ibn Ahmad
ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di kota Cordova pada tahun 1126 M / 520 H. Ia keturunan
dari keluarga yang ahli dalam ilmu fiqih. Ayah dan kekeknya pernah menjabat di
Andalusia sebagai kepala pengadilan. Dengan terbekali keagamaan, Ibnu Rusyd
menduduki peran penting dalam studi-studi keislaman. Beliau mempelajari
Al-Qur’an beserta penafsirannya, hadis Nabi, ilmu fiqih, bahasa dan sastra
Arab. Metode belajarnya secara lisan dari seorang ahli (alim).[3]
Beliau juga merevisi buku Malikiyah, al-Muwatta’, yang dipelajarinya bersama
ayahnya Abu al-Qasim dan dihapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika,
astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan.[4]

Dikisahkan bahwa dia mebulis tiga macam ulasan: ulasan
yang besar, ulasan menengah dan kecil. Ulasan-ulasan besarnya disebut tafsir,
dan mengikuti pola tafsir Al-Qur’an. Dia mengutip satu paragraf dari tulisan
Aristoteles dan kemudian memberikan penafsiran serta ulasan atasnya. Kini kita
masih memiliki ulasan besarnya dalam Bahasa Arab yaitu Metaphysica, yang
disunting oleh Bouyges (1357 H/1938 M. 1371 H/1951 H).[5]

Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah dari pada
di Timur dikarenakan beberapa sebab. Pertama, tulisan-tulisannya yang
banyak jumlahnya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta
dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab dibakar dan dilarang
diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan filosuf. Kedua,
Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah
sebagaimana dianut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai
dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. 
Sebenarnya, dia sendiri terpengaruh oleh adanya pertentangan ilmu dan filsafat
dengan agama. Agama memenangkan pertikaian itu di Timur, dan ilmu
memenangkannya di Barat.
Aib dan siksaan yang diterima serta diusirnya dia dari
tanah kelahirannya pada tahun 593 H / 1196 M merupakan akibat dari pertentangan
itu. Pertarungan antara kaum agama dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan
politik, tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ ke-9 M. Dalam buku-bukunya,
Al-Kindi melukiskan pertarungan ini dan membela para filosof. Orang-orang yang
ahli dalam ilmu keagamaan (fuqaha dan ulama) lebih dekat dengan massa dan
terpengaruh oleh mereka. Para penguasa muslim, yang membutuhkan dukungan
mereka, meninggalkan para filosuf dan memihak pada massa yang berang. Beberapa
penjelasan mengenai dibuangnya Ibnu Rusyd ke Lucena, dekat Cordova telah
diberikan.[6]
b.     
Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Sifat-Sifat Ketuhanan
Ibu Rusyd sebagaimana telah ditunjukkan di depan, menaruh
perhatian untuk mengkritik dua argumen yang dianut kalangan Asy’ariyah yang
digunakan untuk membuktikan adanya Allah, yaitu argumen “penciptaan” dan
argumen kemungkinan dan wajib.
1.     
Tauhid
Berkaitan dengan masalah keesaan Tuhan, Ibnu Rusyd
mencoba menyingkapi pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam ayat-ayat yang
menjelaskan tentang ke-esaan Tuhan dan menakwilinya dengan penakwilan
filosofis, agar menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud oleh ayat-ayat itu
relevan dengan pendapat-pendapat para filosuf.[7]

Menurutnya, argumen kalangan Asy’ariyah tentang ke-esaan
Tuhan merupakan argumen yang tidak benar dan lemah dasar-dasarnya, sebab para
filsuf berpedoman pada sudut pandang metode argumentasi yang
rasional.-demonstratif, kritik Ibnu Rusd difokuskan pada argumen kalangan
Asy’ariyah tentang ketercegahan “tamanu”, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Manabij
Al-Adillah
. Menurutnya argumen ketercegahan tidak sesuai dengan argumen
hukum alam karena argumen itu bukan argumen yang rasional (burhan). Juga tidak
sesuai dengan argumen syariat karena masyarakat umum tidak dapat memahami apa
yang mereka katakan dan tidak mungkin mereka merasa puas dengan pemikiran
Asy’ariyah ini.[8]

Menurut Ibnu Rusyd : “Bahwa dalam banyak Tuhan yang melakukan perbuatan yang berbeda-beda, dimana
yang sebagiannya tidak tunduk pada sebagian yang lain, niscaya tidak mungkin
ada satu wujud alam. Setelah terbukti bahwa alam hanya satu, maka
pastilah bahwa alam itu tidak datang dari Tuhan-Tuhan yang melakukan perbuatan
yang berbeda-beda.[9]
2.  Sifat Ilmu
Menurut Ibnu Rusyd, sebagai mana banyak dikutip dalam
karya-karyanya, Al-Qur’an telah mengingatkan kita tentang masalah sifat ilmu
Tuhan. Allah SWT berfirman : “Taukah kamu, siapa yang menciptakan alam ini,
Dialah Dzat Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui.” Dengan alasannya, ciptaan
ini, dilihat dari sisi urutan bagian-bagiannya, artinya adanya sebagian karena
bagian yang lain dan dari sisi adanya kemanfaatan bagi yang dimaksudkan ciptaan
ini, menunjukkan ketidak mungkinannya dicipta dari pencipta, dimana pencipta
itu merupakan tabi’at alamiah, melainkan tercipta dari pencipta yang sebelum
menentukan tujuannya, dia telah menyusunnya secara sistematis. Menurut Ibnu
Rusyd sifat ini adalah sifat qodim, sebab tidak bisa Tuhan disifati
dengan sifat yang terjadi pada waktu tertentu.[10]

Dalam mengemukakan kritiknya terhadap jalan yang ditempuh
para teolog, Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa perbincangan tentang pengetahuan
(alam) Tuhan dengan esensinya (dzatnya) atau yang lain merupakan hal yang
dilarang dalam penalaran dialektika mereka, dengan alasan bahwa yang diletakkan
dalam kitab lebih utama.
3. Hayat, Iradah, Qudrah, Sama’, dan Bashar
Mungkin bisa dikatakan bahwa kritik Ibnu Rusyd terhadap
jalan yang ditempuh para teolog terkandung secara langsung dan terkadang pula
secara tidak langsung. Ibnu Rusyd terkadang mengkritik pendapat Asy’ariyah
secara langsung, sedang kritik yang tidak secara langsung, kami temukan ketika
dia menganalisis sifat-sifat ketuhanan lain dan disitu mencerminkan bahwa Ibnu
Rusyd tetap mempertahankan sikap (posisi) aliran filsuf.[11]

Berbeda dengan para teolog yang berpegang pada
dialektika, pembahasan Ibnu Rusyd terhadap sifat hayat, dikaitkan dengan
sifat iradat. Menurutnya, Allah Maha berkehendak, sebab diantara
syarat-syarat kemunculan sesuatu dari perilaku Yang Maha Mengetahui adalah
seharusnya Dia memang menghendaki hal itu.[12]
c.  Hasil Karyanya
Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filosuf yang
menentang Al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang Al-Ghazali, Tahafutu
falasifah
. Dalam bukunya itu Ibnu Rusyd membela kembali pendapat-pendapat
ahli filsafat Yunani dan Islam yang telah diserang habis-habisan oleh
Al-Ghazali di sana dibantahnya. Sebagai pembela Aristoteles, tentu saja  Ibnu Rusyd menolak prinsip ijraul-adat
dari Al-Ghazali. Dan seperti Al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum
kausal dari Aristoteles.

Di dunia Islam, filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh
besar. Oleh sebab itu namanya tidak seharum nama Al-Ghazali. Malahan, karena
isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama Islam
yang umum Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Karena pendapatnya itu juga ia
pernah dibuang oleh Khalifah Abu Yusuf (pengganti Abu Ya’kub), diasingkan ke
Lucena (Alisana).

Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli
berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit. Sebagian
buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.

Diantara karangan-karangannya dalam soal filsafat adalah
:
a)     
Tahafutut-Tahafut
b)     
Risalah fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi-juziyat
c)     
Tafsiru ma ba’dhat-Thabiat
d)    
Fashlul-Maqal fi ma Bainal-hikmah wasy-Syariah Minal Ittishal
e)     
Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahlil Millah
f)      
Naqdu Khadariyat ibni Sina Anil Mumkin Lidzatihi wal-Mumkin Lighairihi
g)     
Risalah fi-Wujudil-Azali wal-Wujudil-Muaqqat
h)     
Risalah fil-Aqil wa Ma’quli[13]
D.     
Kesimpulan
Dari makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa dari
biografi Ibnu Rusyd, beliau adalah keturunandari keluarga yang ahli dalam ilmu
fiqih, Ayah dan kekeknya pernah menjabat di Andalusia sebagai kepala
pengadilan, beliau juga mempelajari Al-Qur’an beserta penafsirannya, hadis
Nabi, ilmu fiqih, bahasa dan sastra Arab. Dan yang ilmu umum seperti
Matematika, Fisika, Astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan.

Dan tentang kritiknya diambilnya pokok bahasan tauhid,
yaitu tentang keesaan Allah, menurutnya argumen kalangan Asy’ariyah tentang
keesaan Tuhan merupakan argumen yang tidak benar dan lemah dasar-dasarnya,
sebab para filsuf berpedoman pada sudut pandang metode argumentasi yang
rasional demonstratif. Dan diantara karangan (karya) Ibnu Rusyd dalam filsafat
yaitu :
a.        
Tahafutut-Tahafut
b.        
Tafsiru ma ba’dhat-Thabiat
c.        
Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahlil Millah
d.        
Risalah fi-Wujudil-Azali wal-Wujudil-Muaqqat
e.        
Risalah fil-Aqil wa Ma’quli
E.      
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis susun, semoga
dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Karenanya
penulis mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
F.      
Daftar Pustaka
Afif, Muhammad, Al-Iraqi, Metode
Kritik Filsafat Ibnu Rusyd
, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.
Mustafa, HA, 1997, Filsafat
Islam
, CV Pustaka Setia, Bandung.
Syarif, M.M, 1963, Para
Filosof Muslim
, Mizan, Bandung.



[1]
Muhammad Afif 
Al-Iraqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, IRCiSoD, Yogyakarta,
2003, hal 78
[2]
Ibid, Muhammad Afif  Al-Iraqi, hal 81-82
[3]
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia,
Bandung, 1997, hal 284
[4]
M.M Syarif , Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung,
1963, hal 197-198
[5]
Ibid, M. M. Syarif, hal
201
[6]
Op. Cit, H. A Mustafa, hlm
287
[7]
Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 79
[8]
Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 80
[9]
Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 84
[10] Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 87
[11] Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 100
[12] Ibid, Muhammad Atif
Al-Iraqi, hlm 101
[13] Ibid, H. A Mustafa, hlm
288-289
Rate this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *