SISTEMATIKA
PERIWAYATAN HADIS
(METODOLOGI)
Tugas
Hadis
Oleh :
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUSJURUSAN
TARBIYAH/PAI20XXXX
terkecuali telah sepakat bahwa Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Ia menempati kedudukan yang sangat penting setelah al Qur’an. Kewajiban
mengikuti Hadis bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti al Qur’an. Hal
ini karena Hadis merupakan mubayyin terhadap al Qur’an. Tanpa memahami
dan menguasai Hadis, siapa pun tidak akan bisa memahami Hadis tanpa memahami al
Qur’an karena al Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi
garis besar syari’at, dan Hadis merupakan dasar kedua, yang didalamnya
berisi penjabaran dan penjelasan al Qur’an. Dengan demikian antara Hadis dan al
Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri.[1]
utama dan pertama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Oleh karena itulah kehadiran Hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (bayan) keumuman isi al Qur’an tersebut.
B.
Rumusan Masalah
belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana metode periwayatan
Hadis?
Bagaimana metode yang digunakan
oleh para ulama?
sahabat Nabi dalam menyampaikan berita atau Hadis memulainya dengan kata-kata min
as Sunnah. Menurut sebagian ulama, berita yang dimulai dengan kata-kata ini
juga disebut Hadis Nabi, menurut sebagian ulama lainnya, Ibn Hazm, berita
tersebut tidak dapat dipastikan sebagai berita yang berasal dari Nabi. Sebab,
tidak terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa berita itu otentik dari Nabi.
Sebagian ulama lagi berpendapat, berita itu hasil ijtihad sahabat yang
bersangkutan. Sehingga, diperlukan penelitian terlebih dahulu untuk dapat
diketahui berita tersebut Hadis Nabi ataukah bukan.
Metode
Periwayatan Hadis
yang digunakan untuk meriwayatkan Hadis, adalah sebagai berikut :
As Sima’i Min Lafdzi
As Syekh
cara mendengarkan langsung perkataan gurunya,dengan cara ditekan baik dan
hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa
yang disampaikannya tersebut. Cara ini disepakati Jumhur ahli Hadis sebagai
cara penerimaan Hadis yang paling tinggi tingkatannya, tetapi ada pula yang
mengungkapkan bahwa as Sama’ yang disertai dengan al Khitobah memiliki nilai lebih tinggi dan paling kuat.
Karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan
cara-cara lainnya.[2]
: seorang syekh membacakan Hadis, sedang murid mendengarkannya, sama saja
apakah syekh tersebut membaca dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid
mendengar dan mencatat apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak
menulisnya.
: cara mendengar (as
Sama’) adalah cara yang tertinggi nilainya dari cara-cara menerima Hadis,
menurut pendapat jumhur.
Al Qira’atu Alas Syekhi
adalah menerima Hadis dengan cara seseorang membacakan Hadis di depan gurunya,
baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain sedang guru mendengar atau
menyimaknya.
Hadis menyebutkan “Ardlan”.
Bentuknya
: adalah seorang membaca sedangkan guru mendengarkan, sama saja apakah ia
sendiri yang membaca suatu Hadis atau orang lain sedang ia mendengarkannya, dan
sama saja baik bacaannya dari hafalan atau dari suatu kitab, begitu pula sama
saja guru tersebut mengikuti kepada orang yang membaca Hadis dari hafalannya
atau ia sendiri menyodorkan kitab atau orang tsiqot lainya.[3]
riwayatnya : riwayat dengan qiro’at alas syaikh adalah riwayat yang shohih,
tanpa ada perbedaan dalam semua bentuk-bentuk tersebut, kecuali apa yang
diceritakan dari sebagian orang yang dibilang dari orang-orang keras.
Al Ijazah
: adalah perizinan untuk meriwayatkan baikk secara lafdzi maupun berupa kitab.
: adalah seorang syekh mengatakan kepada muridnya “Ajaztu Laka an Tarwiya ‘Anni
Shahiha al Bukhory” (aku mengizinkan
kepadamu untuk meriwayatkan dariku Shohih Bukhori).
; untuk ijazah terdiri banyak macam, saya akan sebutkan lima macam dari
padanya, yakni :
Seorang syekh mengizinkan riwayat
tertentu untuk seorang tertentu, seperti “Ajaztuka Shahiha al Bukhoriy”
(saya mengijinkan kepadamu Shohih Bukhori) : macam ini merupakan yang paling
tinggi dari macam-macam ijazah yang berasal dari Munawalah.
Mengizinkan kepada seorang
tertentu dengan suatu riwayat yang tidak tertentu, seperti “Ajaztuka Riwayata
Masmuati” (aku mengijazahkan kepadamu akan suatu riwayat yang telah aku
dengar).
Mengijazahkan kepada orang yang
tidak tertentu akan suatu riwayat yang tidak tertentu seperti “Ajaztu Ahla
Zamani Riwayata Masmu’ati” (aku ijazahkan pada orang-orang dizamankan akan
suatu riwayat yang aku dengar).[4]
Al Munawalah
Munawalah didefinisikan
bahwa seorang guru memberikan Hadis atau beberapa Hadis atau sebuah kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan.[5]
adalah terlepas dari ijazah : dan bentuknya adalah seorang syeikh (guru)
menyerahkan kitabnya kepada muridnya dengan hanya mengatakan secara ringkas ini
adalah riwayat yang aku dengar.
ijazah : dan ia merupakan bagian ijazah yang paling tinggi secara mutlak.
riwayatnya, adapun yang
dibarengi ijazah : maka boleh meriwayatkannya. Dan ia tingkatannya lebih rendah
dari as
Sima’ dan qiro’ah alas syeikh.
Adapun
yang terkepas dari ijazah maka tidak boleh meriwayatkannya menurut pendapat
yang shohih.
Al Khitobah
untuk menuliskan sebagian Hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di
hadapannya atau yang tidak hadir denan jalan dikirimi surat melalui orang yang
dipercaya untuk menyampaikannya.[6]
: yaitu seorang syeikh menulis riwayat yang didengarkannya kepada orang yang
hadir atau yang tidak hadir dengan tulisannya sendiri atau dengan perintahnya.
dengan ijazah seperti “Ajaztuka Makatabtulak Au Ilaik” (Aku ijazahkan
kepadamu apa yang aku tulis untukmu atau aku berikan kepadamu), semacamnya. Sedangkan yang terlepas
dari ijazah, seperti “an
Yaktubalah Ba’da al
Ahadista Wayursila Halah Wa La Yujizah Biriwayatiha” (aku tulis
untukmu sebagian Hadis lalu aku kirimkan kepadamu dan tidak mengijazahkan
riwayat tersebut kepadanya).
riwayatnya
adalah untuk yang dibarengi dengan ijazah : maka meriwayatkannya adalah shahih, ia
sah dan kuat seperti munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Sedang untuk yang dibarengi dengan
ijazah : maka sekelompok ulama membolehkannya, sementara yang lainnya
melarangnya, sedang yang kuat adalah boleh menurut ahli Hadis, karena dirasa
seperti ijazah.
Al I’lam
: seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini
merupakan hasil pendengarannya sendiri.
boleh : pendapat tidak hanya satu orang dari Muhadisin dan yang selain dari
mereka. Dan inilah yang benar, karena seorang syekh atau guru diketahui bahwa Hadis
ini benar-benar riwayatnya. Akan tetapi tidak boleh diriwayatkan karena di
dalamnya terdapat beberapa cacat, memang benar, seandainya ia mengijazahkan
riwayatnya, maka boleh meriwayatkannya.[7]
penyampaian (ada’) : dalam menyampaikan Hadis ia mengatakan “A’lamani
Syaikhi Bikadza” (telah mengi’lamkan kepadaku guruku dengan seperti begini”
Al Washiyyah
yang diriwayatkannya kepada orang lain. Waktu berlakunya ditentukan oleh
orangyang diriwayatkannya kepada orang lain dalam hal ini dapat saja mulai
berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia atau ketika dalam perjalanan. Bentuknya
: yaitu seorang syeikh atau guru mewasiatkan ketika akan meninggal atau akan
bepergian kepada seseorang tertentu berupa sebuah kitab-kitabnya yang ia
riwayatkannya.
adalah boleh : menurut sebagian ulama salaf, pendapat ini salah, karena dia
mewasiatkan sebuah kitabnya sedang dia tidak mewasiatkan untuk meriwayatkannya.
Dan tidak boleh :
dan ini adalah pendapat yang benar.
Al Wijadah
wawu, isim masdar dari kata “Wajada” dan ini merupakan masdar
muwallad yang tidak pernah di dengar dari kalangan orang Arab.
adalah seorang murid mendapatkan beberapa Hadis dengan tulisan syeikh atau guru
yang tidak diriwayatkannya, murid tersebut mengetahuinya sendiri, ia tidak
melalui sima’ dan tidak pula melalui cara ijazah.[8]
meriwayatkannya : periwayatan dengan wijadah adalah termasuk bab munqoti’,
akan tetapi di dalamnya terdapat bagian yang muttasil.
Metode yang Digunakan Para Ulama
mempunyai beberapa metode dalam penyusunan Hadis. Metode yang digunakan oleh
para ulama tersebut adalah :
Metode masanid
sanad, maksudnya buku-buku yang berisi tentang kumpulan Hadis setiap sahabat
secara tersendiri, baik Hadis Shohih, Hasan, atau Dlaif.[9]
oleh para ulama Hadis jumlahnya banyak. Al
Khittani
dalam kitabnya Ar Risalah Al Mustathrofah meneyebutkan
jumlahnya sebanyak 82 musnad.[10]
Al Ma’ajim
dari mu’jam. Menurut istilah para ahli Hadis, al-mu’jam adalah buku yang berisi
kumpulan Hadis yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru
penyusun, atau negeri, sesuai dengan huruf hijaiyah.
Az Zawaid
yang berisi kumpulan Hadis tambahan terhadap Hadis yang ada pada sebagian kitab
yang lain. Karya yang terkenal dalam bidang ini antara lain Misbah Az Zaujajah
fi Zawaid Ibnu Majah karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al Bushairi dan Majma’
Azzawaid wa Manba’ul Fawaid karya Al Haitsani.[11]
makalah di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa metode periwayatan Hadis dibagi
menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah as-Sama’ contohnya yaitu
seorang murid yang mendengarkan hadis dari gurunya sendiri dengan cara didekte
atau dibacakan dengan pelan-pelan. Dan contohnya lagi al-Wijadah yaitu
seseorang yang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis
dengan tidak melalui cara sama’, Ijazah atau Munawalah
digunakan oleh para ulama pada umumnya yaitu metode Masanid. Adapun
musnad-musnad yang paling terkenal yaitu Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud
At-Thayalisi dan musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Contohny selanjutnya yaitu
Azzawaid, karya yang berisi kumpulan hadis tambahan terhadap hadis yang ada
pada sebagian kitab yang lain.
Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta : PT Raja Grafindo. 1993
Mahmud. Ulumul Hadis. Yogyakarta : Titian Ilahi Press. 1997.
Metode Penelitian Hadis. Kudus : Nora Media Enterprize. 2010.
Muhammad. Hadis Ahad dan Aqidah. Bangil Jatim : Darul Bayariq. 2001.
Nashirudin. Metodologi Penafsiran Al Qur’an. Surakarta : 1997.
Sholahuddin, Muhammad. Ulmul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia. 2009.
Kudus : Nora Media Enterprize. 2011.