MAKALAH SOSIOLOGI KURIKULUM

Diposting pada
SOSIOLOGI
KURIKULUM

A.Definisi Sosiologi Kurikulum
Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang
memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode, serta sususan
pengetahuan dan objeknya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.[1]
Kurikulum adalah situasi kelompok yang tersedia bagi
guru dan pengurus sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang
berubah di dalam arus yang tidak putus-putus dari anak-anak dan pemuda yang
melalui pintu sekolah.[2]



Dengan demikian, sosiologi kurikulum adalah tingkah
laku manusia yang bisa dirubah melalui pintu sekolah atau pendidikan.

B.Latar
Belakang Munculnya Sosiologi Kurikulum

Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu
“curriculae” yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kurikulum
adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa.
Dengan program itu para siswa mampu melakukan berbagai kegiatan, sehingga
terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan
pendidikan pembelajaran.
Pada zaman dahulu waktu manusia masih hidup pada
kelompok-kelompok kecil dan sederhana,

pendidikan anak-anak untuk kehidupannya
dalam masyarakat itu diselenggarakan di luar sekolah. Segala sesuatu yang perlu
bagi pendidikannya diperoleh anak-anak dari orang-orang disekitar lingkungannya
tanpa pendidikan formal disekolah. Mereka hanya meniru dan mengikuti kelakuan
dan cara-cara orang dewasa, sehingga mereka pandai mengolah tanah, memancing,
dan berburu.

Kurikulum mata pelajaran yang tradisional, awal mulanya
di abad pertengahan, yang dikenal dengan sebutan “seven liberal arts” (tujuh
pengetahuan umum). Oleh St Augustine didalam bukunya “Retraction” menyebutkan
dengan tujuh disiplin (seven discipline). Seven liberal arts tadi bukanlah
sekedar suatu latihan mata pelajaran, tetapi berkaitan erat dengan peranan dan
fungsi seseorang setidak-tidaknya dalam tiga profesi penting. Dari ketujuh
disiplin (disebut trivium), 

pada dasarnya merupakan telaah bahasan, yaitu
terdiri dari tata bahasa, retorika, logika atau dialektika. Trivium tersebut
merupakan prasyarat untuk melanjutkan keempat disiplin berikutnya. Keempat
disiplin berikutnya (disebut quadrivium), yaitu ilmu hitung, geometri,
astronomi, dan seni musik.

Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perubahan
dan kemajuan, maka pendidikan seperti itu tidak serasi lagi, anak-anak harus
memiliki berbagai macam keterampilan dan sejumlah besar pengetahuan agar
hidupnya terjamin. Dengan perkembangan zaman tersebut untuk membekali siswa
maka harus ada sosiologi kurikulum yang tinggi.

Dalam sejarah perkembangannya yaitu setelah abad
ke-17, kurikulum juga sudah mulai menyebar kepada pembicaraan mengenai metode
pembelajaran. Sebagaiamana diketahui, pada kurikulum tradisional, begitu
mapannya metode tradisional, seperti dekte, menghafal, dan meniru.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Locke, dimana dia
menginginkan berkurangnya kurikulum tradisional. Namun, setelah berakhirnya
reformasi pada tahun 1832 terjadi sebuah kebutuhan yang meningkat terhadap
sekolah yang bertipe komersial, dimana mata pelajaran tersebut dilengkapi
dengan hal-hal yang jelas dan bermanfaat untuk usaha bisnis.

Pada laporannya, Hadow menekankan mengenai suatu
kurikulum Sekolah Dasar, seperti yang tertuang pada laporan Hadow dimana
laporan mengenai kurikulum Sekolah Dasar ini, memang tak ada yang mengejutkan
sebab relative serupa dengan pemikiran-pemikirannya dengan laporan sebelumnya
tentang kurikulum Sekolah Dasar. Dalam hubungan tersebut, yang menjadi pokok
perhatiannya ialah mengenai penumbuhan pengalaman para murid (dengan memperkaya
dan memperluas pengajaran sehari-hari murid dengan kondisi lingkungannya).
Dengan demikian, tekanannya terletak pada tingkah laku nyata murid dalam
kehidupan daripada kecerdasan akademisnya.

Berikutnya, laporan Spens, kembali membenarkan
hasil-hasil serta pemikiran panitia. Panitia Spens juga setuju dengan corak
pendidikan yang dirancang supaya lebih dekat kaitannya dengan tugas-tugas
praktis kehidupan, dan harus pula memperhitungkan kebutuhan pengisian waktu
luang para siswa. Disamping itu, Norwood menambahkan pertimbangan dalam
laporannya mengenai kemungkinan terbatsanya alokasi sajian pejaran, apabila
mata pelajaran senantiasa ditambah atau diperbanyak terus. Dalam hal ini
Norwood dan kawan-kawan beranggapan bahwa hal yang penting adalah pemberian
pengalaman belajar yang bias mengantar para siswa menjadi lebih memahami
permasalahan-permasalahan kehidupan di dalam konteks lingkungannya.
Menurut Norwood dan kawan-kawannya, mengatakan bahwa
kurikulum persekolahan hendaknya mengandung:

1.Upaya pembinaan rasa tanggung jawab dan menghargai akal budi.
2.Menumbuhkan sikap mandiri di dalam melakukan telaahan serta
mengembangkan kekuatan intelektual yang bebas dan bertanggung jawab.
3.Memberikan sejumlah pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta dan
peristiwa-peristiwa yang menentukan dunia kehidupan yang bakal dialami.
4 Mengembangkan kemampuan murid untuk menyadari maslaha-masalah dan resiko
yang bakal muncul didalam pengambilan tindakan atau pilihan disepanjang hidup
kelak.
Tiga butir pertama tadi, menurut mereka bisa dicapai
secara efektif melalui kegiatan belajar struktur sehari-hari disekolah.
Sedangkan butir keempat, pembinaannya melalui kegiatan kemasyarakatan/kesiswaan
disekolah.

Selanjutnya dalam laporan Newson (Newson Report)
1963, didalamnya banyak memuat tentang konten dan sifat kurikulum masa lampau
beserta metode pengajarannya. Dengan peledakan pengetahuan yang berlangsung
masa kini, menhajatkan suatu kurikulum baru dan pendekatan baru. Dalam laporan
Newson, tujuan kurikulum baru haruslah:
1.        
Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar.
2.        
Mengembangkan ketrampilan berfikir, hasrat ingin tahu, serta kemampuan
diskriminasi dan mengambil keputusan.
3.        
Membina kesadaran moral dan tingkah laku sosial.
4.        
Menanamkan pengertian mengenai dunia fisik dan dunia masyarakat
Indonesia.
5.        
Mengembangkan rasa tanggung jawab pribadi dan sosial.

Di samping itu, khusus mengenai pendidikan dasar
laporan Plowden menyatakan bahwa tujuan yang jelas dari Sekolah Dasar ialah
guna menyiapkan anak-anak terjun kedalam masyarakat.
Pada tahun 1967, Kantor Pendidikan (School Council),
menerbitkan kertas kerja penting yang diberi judul “Society and the Young
School Leaver”. Dimana kertas tersebut berisikan sebuah usulan dimana supaya
mengembangkan area-area pengamatan secara interdisipliner di dalam lingkup
Humanitas. Tujuan tersebut disebutkan secara spesifik, yaitu:

1.   
Menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berfikir sederhana, dan
mengikis prasangka didalam memberikan pertimbangan nilai.
2.    Membantu
mencapai kematangan pribadi anak-anak.
3.    Membantu
murid-murid supaya berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat sekolahnya.
4.    Membantu
anak-anak agar menyadari kepentingan masyarakat, dan menghayati masyarakatnya
sendiri.
5.   
Mengembangkan kemampuan intelektual anak sehingga bisa memahami
kompleksitas dan totalitas lingkungan sosial dan peradabannya.
6.   
Menanamkan nilai, sikap, dan kemampuan untuk belajar.[3]

C.      
Sekolah Masyarakat
Sekolah ini bersifat life-centered. Masyarakat
dipandang sebagai laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki, dan turut
serta dalam usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan.sekolah ini
mengikutsertakan orang banyak dalam proses pendidikan dalam mempelajari
problema-problema sosial. Dengan demikian terbukalah pintu antara sekolah
dengan masyarakat.
1.        
Ciri-ciri sekolah masyarakat
Ciri-ciri sekolah ini tidak ditentukan oleh
tempatnya, bentuk atau besarnya. Menurut Olsen ciri sekolah masyarakat ini
adalah sebagai berikut :
a)       
Sekolah itu untuk memperbaiki kehidupan setempat
b)       
Sekolah itu menggunakan masyarakat 
laboratorium untuk belajar
c)       
Gedung sekolah menjadi pusat kegiatan masyarakat
d)      
Sekolah itu mendasarkan proses-proses dan problema-problema kehidupan
dalam masyarakat
e)       
Sekolah itu mengikutsertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah
f)        
Sekolah itu ikut serta mengkoordinasikan masyarakat
2.         Pembagian
kurikulum
Di Amerika terdapat tiga pembagian kurikulum, yaitu
sebagai berikut :
a)    The
Classical Curriculum
Yaitu kurikulum yang bersifat tradisional,
menekankan kepada bahasa asing, bahasa kuno, sejarah kesusasteraan, matematika
dan ilmu yang murni.
b)   The
Vocational Curriculum
Yaitu kurikulum yang pada prinsipnya menyiapkan
mahasiswa untuk bekerja, dan dapat hidup layak dimasyarakat.
c)    Life
Adjustment Curriculum
Yaitu kurikulum yang dititik beratkan untuk
pembangunan kepribadian mahasiswa dan kegunaan sosial dari apa yang dipelajari
dalam life experience curriculum.
3.        
Perkembangan kurikulum
Pada bahasan mengenai sosiologi kurikulum ini,
perhatiannya terutama ditujukan terhadap pengaruh sosial kurikulum itu sendiri,
dan hubungannya antara kurikulum dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat.
Dengan uraian ringkas dimaksud, tentunya dapat membantu untuk melihat secara
lebih jelas tentang bagaimanakah pengaruh tekanan masyarakat terhadap sekolah
dan kurikulum yang tradisional.
D.      Peran
Kurikulum dalam Membangun Masyarakat Indonesia
Pada pembahasan ini akan menempatkan kurikulum
sebagai suatu jangkauan perspektif yang lebih luas, bukan sekedar dikaitkan
dengan upaya pendidikan di dalam sistem persekolahan, tetapi dikaitkan pula
dengan kepribadian bangsa. Misalnya melalui ceramah, wayang, komik, drama,
yang  didalamnya mengandung satu pesan
tentang kepribadian bangsa.
Segala macam upaya pembinaan kepribadian bangsa
tersebut, baik  yang berlangsung di dalam
maupun di luar sekolah, semuanya mengandung pesan dan misi pendidikan tertentu.
Pesan inilah yang akhirnya disebut sebagai kurikulum.
Kurikulum pembinaan bangsa dalam artian yang luas
inilah yang menjadi perhatian saat ini. Dimana kurikulum saat ini harus
dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih sejalan dengan masyarakat yang maju dan
modern.
Fungsi kurikulum bagi masyarakat, sesunguhnya juga
akan menggambarkan fungsi sekolah bagi masyarakat. Artinya, kurikulum akan
mengambarkan berbagai muatan yang akan diemban oleh sekolah.
Ada anggapan masyarakat yang menganggap bahwa fungsi
sekolah adalah menjadi inspirattor dan menjadi motor penggerak (agent of
change) bagi setiap perubahan. Jika demikian, tentu akan sangat banyak yang
diharapkan masyarakat dari sekolah. John Dewey mengemukakan bahwa lembaga
pendidikan sekolah adalah institusi yang paling efektif untuk melakukan
rekonstruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu. Bahkan
G.S.Counts lebih jauh dari itu; dengan mengemukakan bahwa ”pendidikan tidak
hanya harus membawa perubahan dalam masyarakat akan tetapi mengubah tata sosial
dan mengatur perubahan sosial.”[4]
Jika demikian fungsi dan tugas yang diemban sekolah,
maka hal itu sangat tergantung kepada kurikulum, karena kurikulum adalah
pedoman dari semua kegiatan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kurikulum
berperan sangat besar dalam mempercepat terjadinya proses perubahan sosial di
dalam masyarakat. Teori sosiologi mengatakan bahwa: Setiap masyarakat manusia
selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, Perubahan mana dapat berupa
perubahan yang tidak menarik atau kurang mencolok. Ada pula perubahan–perubahan
yang pengaruhnya terbatas maupun amat luas, serta ada pula perubahan-perubahan
yang lambat sekali akan tetapi ada pula perubahan yang amat cepat.[5] Ini pula
yang menjadi salah satu alasan mengapa kemudian kurikulum perlu dikembangkan
atau bahkan mungkin diadakan perubahan. Hal itu semata-mata karena terjadinya
dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat.
Seiring dengan itu, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di bidang
teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis,
drastis dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek
kehidupan (Bastian, 2002).
Membangun masyarakat melalui pendidikan adalah
keharusan yang sangat mendesak dan tidak boleh ditawar-tawar. Bastian (2002:13)
mengemukakan bahwa : ”Bangsa yang tidak mampu untuk mengantisipasi perkembangan
disebabkan kesalahan sistem pendidikannya yang tidak berorientasi pada
pengembangan potensi pembawaan generasi mudanya secara maksimal.” Sistem
pendidikan sangat tergantung dari cara pandang suatu bangsa akan pengertian apa
sebenarnya hakikat pendidikan tersebut.
E.       Perubahan Kurikulum
Istilah kurikulum lazimnya dikaitkan dengan isi atau
program pendidikan di lembaga persekolahan. Istilah kurikulum ditempatkan dalam
suatu jangkauan perspektif yang lebih luas, bukan sekedar dikaitkan dengan
upaya pendidikan dalam sistem persekolahan, tetapi dikaitkan dengan segala
macam upaya yang membawa misi pembinaan kepribadian bangsa. Segala macam usaha
pembinaan kepribadian bangsa yang dimaksud, baik yang berlangsung di dalam
maupun di luar sekolah, kesemuanya terkandung dan membawa misi atau pesan
pendidikan tertentu, misi atau pesan itulah yang dimaksudkan dengan kurikulum.
Sesuai dengan kemajuan zaman, kurikulum sudah
saatnya dinilai dan selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga lebih
sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
Dalam hubungannya dengan pembaharuan kurikulum,
sebagaimana diajukan komisi kerajaan Inggris, Hadow didalam laporannya mendesak
perlunya menawarkan pelajaran realistis dan praktis sebagai suatu bagian
pendidikan umum daripada menyelenggarakan pendidikan teknik atau pendidikan
keterampilan sendiri. Dalam laporan itu Hadow juga menekankan suatu kurikulum
yang memperhatikan minat dan kapasitas perseorangan murid. Dengan istilah yang
tegas dan memikat, Hadow mendesak adanya kurikulum persekolahan yang membuka
peluang seluas-luasnya kepada pengembangan minat anak-anak sehingga memberi
suatu suasana yang menyenangkan bagi murid-murid.
Untuk memperlancar gerak maju bangsa ini, rasanya
sangat mendesak untuk mengubah kurikulum kemasyarakatan yang terpakai sekarang
ini. Dalam hubungan ini tentu saja diperlukan pengkajian yang cermat tentang
ciri tatanan dan mentalitas maju/modern itu sendiri. Di samping itu, juga
diperlukan penelitian dan analisis yang cermat tentang dosis dari aspek-aspek
yang dikurikulumkan selama ini, mana yang dosisnya berlebihan, memadai, dan
kekurangan.
Bertolak dari dua macam informasi kunci tersebut,
berikutnya tinggal menetapkan kurikulum baru dalam rangka pembinaan dan
pengembangan bangsa ini. Dalam hubungan ini diperlukan keberanian sikap untuk
menentukan pilihan dan keputusan tentang aspek mana yang perlu dikurangi
dosisnya, aspek mana yang perlu ditambah dosisnya, dan aspek mana yang untuk
sementara dapat diabaikan sama sekali.
Katakanlah kurikukum baru yang dimaksud sudah
ditetapkan. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana memobilisir pranata-pranata
kemasyarakatan yang ada guna menerapkan kurikulum baru tadi. Inilah persoalan
yang paling sulit, karena tidak mudah menggerakkan para kepala sekolah dan guru
dalam rangka mernerapkan kurikulum baru di sistem persekolahan. Walaupun
demikian, semuanya banyak bergantung pada tekat pemerintah, dan apakah
pemerintah mau melakukan perubahan kurikulum untuk pendidikan Indonesia.
F.       
Implikasi Sosial
Bila diamati perkembangan suatu masyarakat, akan
terlihat jelas adanya peningkatan dan perluasan didalam hal pengetahuan dan
kemampuan mengendalikan lingkungan. Dalam konteks perkembangan masyarakat,
lembaga pendidikan mau tidak mau harus berperan sebagai media penerus
kemampuan-kemampuan yang berkembang dimasyarakatnya.
Berdasarkan kacamata sosiologi, sebagaimana
dinyatakan oleh penganut-penganut Durkhiem, seseorang dididik dalam konteks
masyarakatnya, dan hidup didalam konteks masyarakatnya, oleh sebab itu
pendidikan tidak layak berada ditempat yang terasing dengan masyarakat. Atas
dasar itu relevan atau tidak, praktis atau tidak dan berguna atau tidak sajian
pendidikan yang diberikan. Pendidikan merupakan suatu hal yang harus difikirkan
dan dirancang sejalan dengan kebutuhan atau tuntutan obyektif yang berkembang
dimasyarakat.
Untuk zaman sekarang pendidikan bertugas
menghantarkan anak didik kedunia masyarakat dan dunia pengetahuan, agar mereka
memiliki bekal untuk hidup selaku masyarakat atau warga negara. Relevansi
sosial dari apa yang diajarkan, merupakan hal penting yang tidak dapat
diabaikan dalam pengembangan kurikulum. Dalam hal ini sering sekali terjadi
kekurangan antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan apa yang diajarkan
disekolah.[6]
[1] Abu Ahmadi. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta. hal 2.
[2] Brown. 1961. Educational Sosiology.Tokyo:
University Book Store
[3] Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980. Dasar-Dasar
Pendidikan. Surabaya: Usana Offset Printing. Hal. 124-127.
[4] Nasution, S. 2004. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 157.
[5] Soerjono Soekanto. 1996. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. Bab 6.

[6] Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980. Dasar-Dasar
Pendidikan. Surabaya: Usana Offset Printing. Hal. 128-130.

Nah itulah informasi yang dapat kami beikan tenrang ‘ MAKALAH SOSIOLOGI KURIKULUM ”. Semoga bermanfaat.
Rate this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *